bakabar.com, JAKARTA - United Overseas Bank (UOB) berkomitmen mendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Komitmen ini diwujudkan melalui penerapan pendanaan berkelanjutan (sustainable financing) dalam pembelian kendaraan listrik.
Demikian disampaikan Managing Director, Sector Solutions Group, Group Wholesale Banking UOB Bonar Silalahi dalam Konferensi tahunan United Overseas Bank (UOB), Gateway to ASEAN 2023 yang digelar di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu (11/10).
Menurut Bonar, peran bank dalam mendukung pendanaan dan juga konektivitas guna mendorong keberlanjutan sangat diperlukan. Termasuk terkait penetrasi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di Indonesia.
Menurut Bonar, sejak 2017 UOB telah menyiapkan solusi untuk memahami dinamika dan perubahan di tengah fokus dunia terhadap ekonomi berkelanjutan. Pasalnya, terkait kapital, konektivitas atau hubungan baik antar-negara tidak bisa dipisahkan. ASEAN, kata Bonar, adalah bagian dari rantai pasok yang lebih besar.
"Kita harus bisa memahami bagaimana (sektor keberlanjutan) ini bisa terhubung dari China ke ASEAN atau di dalam ASEAN," kata Bonar dalam konferensi tahunan bertema "Adding Value to the Commodities Sector".
Dia memberikan contoh konkret saat UOB ikut membantu meningkatkan penetrasi EV di Thailand. Di negara tersebut, UOB telah menjadi satu bank regional telah banyak bekerja sama dengan dealer untuk memberikan pembiayaan kendaraan listrik.
Sementara itu, UOB Indonesia berkomitmen mengembangkan sustainable financing atau pendanaan berkelanjutan terintegrasi, sebagai bagian inisiatif pembiayaan hijau bagi terciptanya ekonomi berkelanjutan.
Melalui pembiayaan hijau ini, pelaku bisnis dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan bagi produk yang ramah lingkungan atau terkait dengan pembangunan berkelanjutan.
Dalam diskusi panel kedua yang bertemakan "Unleashing the Digital Economy" Bank Indonesia yang diwakili Asisten Gubernur, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Dicky Kartikoyono membahas maraknya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia.
Dicky menyampaikan, Indonesia berhasil mendorong penggunaan QRIS di masyarakat dalam mendukung inklusi ekonomi dan keuangan digital serta konektivitas pembayaran antarnegara.
"Mereka telah melihat efektivitas penggunaan QRIS dalam transaksi regional," ujar Dicky.
Konektivitas ini lanjut Dicky akan menopang transaksi pariwisata, UMKM dan lainnya. Hal ini menguntungkan baik pengguna maupun pedagang, khususnya segmen UMKM.
Ia mencatat jumlah transaksi QRIS sepanjang 2022 mencapai sebesar 1,03 miliar transaksi, atau tumbuh sebesar 86 persen (year on year). BI berkomitmen untuk terus melakukan berbagai inovasi fitur QRIS seperti QRIS Tarik Tunai, Transfer dan Setor Tunai (TUNTAS) yang akan segera diluncurkan, serta perluasan kerja sama QRIS, termasuk kerja sama perluasan interkoneksi pembayaran QR Code dengan negara mitra.
Sementara Direktur Channels and Strategic Partnerships Google Cloud South East Asia, Megawaty Khie menyampaikan soal layanan cloud yang semakin berkembang pesat di Indonesia.
Bahkan, mengutip data IDC, pertumbuhannya bisa mencapai US$ 933 juta atau Rp14,6 triliun tahun ini. Dia juga menyebut Indonesia adalah pasar terbesar Google Cloud di Asia Tenggara, melewati Singapura.
"Cloud tetap akan meningkat. Angkanya itu kalau untuk Indonesia dari IDC US$933 juta. Growth (setiap tahunnya) 20-30 persen, tergantung situasi. Indonesia menyumbang lebih dari 50 persen bisnis kami di ASEAN," ujarnya.
Dengan demikian, kata dia, jika gabungan cloud market dari Singapura, Malaysia, dan Thailand masih lebih kecil dari cloud market Indonesia. Itu sebabnya Indonesia menjadi tempat yang tepat untuk investasi pusat data wilayah cloud.
"Dan tentunya, satu hal lagi jika bisa saya tambahkan, data selalu bertambah. Itu tidak akan pernah turun. Jika Anda ingin berinvestasi, ini adalah waktu terbaik untuk melakukannya di Indonesia," katanya.
Melansir CNNIndonesia/com, pemicu perkembangan pesat penggunaan cloud Indonesia, lanjut dia, adalah ekonomi digital. Sebab berdasarkan data dari Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara sendiri tembus US$200 miliar pada tahun lalu.
Megawaty Khie juga menyebutkan kepercayaan orang menggunakan cloud sudah cukup tinggi, sebab sudah banyak masyarakat yang malas membeli dan menggunakan hardware jadi akhirnya beralih ke cloud.
Namun Megawaty Khie mencatat ada satu kendala untuk implementasi cloud di dalam negeri. Yakni terkait izin yang diberikan dari pemerintah. Misalnya, jika perbankan mau menggunakan cloud, harus mendapatkan izin dulu dari lembaga terkait.
"Pemerintah harus lebih mendukung. Izin masih terlalu panjang. Misalnya untuk dari perbankan, jika mau mencoba mengunakan cloud harus mendapatkan izin dari BI dan OJK. Namun perizinannya cukup lama," pungkas dia.
Di lain pihak, President of Financial Technology GoTo, Hans Patuwo, menilai peluang pertumbuhan industri digital Indonesia masih sangat besar, termasuk di fintech.
Dia memaparkan bahwa bisnis GoTo berkontribusi secara langsung dan tidak langsung terhadap 1-2 persen produk domestik bruto Indonesia. Per 2022, GoTo didukung oleh 2,5 juta mitra pengemudi, 18 juta pedagang, dan 16 juta pengguna.
Indonesia memang memiliki pertumbuhan pesat dalam ruang digital. Namun, tidak seperti China, Indonesia masih punya jalan yang panjang untuk tumbuh.
"Jadi meskipun pertumbuhannya sangat besar, saya yakin masih banyak lagi yang bisa kita capai," ucap Hans.
Sementara Managing Director dan Head, Telecom, Media & Technology, Sector Solutions Group UOB, Terence Koh, mengatakan, jika membicarakan tentang ekonomi digital, berarti juga berbicara tentang konektivitas data. Sebagai bank, Terence Koh menuturkan bahwa UOB berkepentingan dalam ekosistem digital.
"Kami selalu mencari peluang untuk bermitra dengan hyperscaler dan benar-benar melihat proposisi win-win yang dapat kami lakukan sebagai kemitraan. Kami juga memiliki jaringan kami sendiri, memiliki kemampuan kami sendiri dalam hal layanan dan produk keuangan sehingga kami dapat memungkinkan para hyperscaler untuk memastikan bahwa mereka mengadopsi lingkungan dan layanan mereka serta jaringan mereka ke perusahaan hingga ke konsumen," kata Terence Koh.
Lebih lanjut ujar Terence Koh, Indonesia sendiri mulai membangun ekosistem digital Adapun soal potensi Indonesia sangatlah besar, dan para hyperscaler yang masuk bukan hanya dari Barat dan China. Terlebih di Indonesia juga terdapat banyak unicorn yang telah terbentuk dan mapan. Menurutnya, itu semua karena Indonesia merupakan pasar yang sangat dalam dan sangat besar.
Sedangkan posisi UOB sendiri menjadi sangat vital karena sebagai institusi perbankan dengan berbagai layanan keuangannya dapat mendukung sampai ke lapisan terakhir, atau perusahaan itu sendiri. Hal ini untuk memaksimalkan proses bisnis dan operasional dari perusahaan tersebut dengan menggunakan teknologi yang tepat.
"Ini semua diperlukan untuk berinteraksi dengan proses bisnis perusahaan serta proses operasi. Di sinilah kami mencoba bekerja dalam hal digitalisasi perusahaan untuk menginformasikan penerapan pembicaraan perusahaan," ujarnya.
"Dalam perusahaan, keberlanjutan sama pentingnya dengan digitalisasi. Jadi begitulah cara kami melakukannya," katanya.
Untuk tahu lebih jauh serunya dialog ini, saksikan kembali UOB Gateway to ASEAN Conference 2023 disini.