bakabar.com, TANJUNG – Berdasar data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalimantan Selatan, sampai April ini angka kasus depresi meningkat.
Pada 2021 hanya ada 338 kasus, sedangkan 2022 sudah mencapai 390 kasus. Menariknya, separuh di antaranya berasal dari Tabalong.
Data tersebut kemudian disodorkan media ini ke dokter jiwa di Kabupaten Tabalong, dr Tri Anny Rakhmawati. Namun Anny mengatakan penderita depresi di Bumi Sarabakawa tidaklah sebanyak itu.
“Pada triwulan I-2022 penderita depresi di Kabupaten Tabalong sebanyak 17 orang dari laporan 18 Puskesmas, sedang di rumah sakit sekitar 30 orang,” beber Anny, Senin (18/4).
Menurut dr Anny, penyebab depresi sendiri ada lima faktor. Yaitu faktor biologis, faktor hormonal, faktor kimia otak atau neurotransmitter, riwayat keluarga dan peristiwa kehidupan.
Untuk faktor biologis karena adanya perubahan fisik pada otak, bisa disebabkan karena trauma pada kepala atau penyakit fisik seperti stroke.
Faktor hormonal, yakni perubahan keseimbangan hormon bisa memicu depresi. Perubahan hormon bisa terjadikarena masalah tiroid, menopause atau beberapa kondisi lain.
Kemudian faktor kimia otak atau neurotransmitter, karena zat kimia yang terjadi secara alami di otak bisa memainkan peran dalam depresi bila kadarnya tidak seimbang
Sementara riwayat keluarga, depresi lebih sering terjadi pada orang yang memiliki riwayat keluarga dengan kondisi serupa.
“Untuk peristiwa kehidupan, peristiwa traumatis seperti kematian, kehilangan orang yang dicintai, masalahkeuangan, stress yang tinggi atau trauma masa kecil dapat memicu depresi pada beberapa orang,” bebernya.
Kata dr Anny, pada umumnya prevalensi penderita depresi pada rentang usia remaja sampai dewasa muda atau 15-24 tahun.
“Perempuan cenderungrentan menderita depresi dibandingkan laki-laki,” sebutnya.
Dinkes Tabalong sendiri sudah melakukan edukasi tentang kesehatan mental berupa penyuluhan-selebaran di Puskesmas dan skrining atau deteksi dini gangguan jiwa menggunakan kuisioner dari Kemenkes. Termasuk, melibatkan petugas kesehatan jiwa Puskesmas kepada masyarakat dan siswa sekolah.
“Apabila dari hasilkuisioner didapatkan hasil skoring mengalami gangguan jiwa dalam hal ini depresi maka disarankan untuk berobatke dokter di puskesmas atau bisa dirujuk ke psikiater di rumah sakit,” jelas Anny.
dr Anny juga menyebut kendala terbesar dalam penanganan depresi, yaitu stigma atau penilaian negatif terhadap pengidap gangguan kesehatan mental.
Stigma dapat menghambat proses pemulihan gangguan kesehatan mental, jika dibiarkan. Bahkan, tak jarang malah membuat kondisi semakin buruk.
“Stigma dapat membuat pengidap merasa malu, tidak dimengerti, dan akhirnya tidak mau mencari bantuan atau perawatan medis yang sesuai,” terangnya.
dr Anny bilang beberapa stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental yang sering dijumpai dapat berupa diskriminasi langsung yang terlihat frontal dan kasar. Misalnya, perlakuan kasar maupun kata-kata hinaan yang dilontarkan pada pengidap maupun keluarganya.
Diskriminasi halus, seperti pengucilan pengidap gangguan kesehatan mental secara diam-diam atau tidaksengaja. Misalnya, menghindari orang yang mengalami gangguan kesehatan mental karena dinilai berbahaya bagi keselamatan pribadi maupun keluarga.
Selain dari luar, stigma terhadap pengidap gangguan kesehatan mental juga bisa datang dari dalam pikirannya sendiri atau stigma internal.
“Hal ini biasanya tumbuh akibat adanya stigma dari masyarakat, maupun ketakutan akan dijauhi orang-orang karena ‘berbeda’,” pungkas dr Anny.