bakabar.com, JAKARTA - Setelah aksi menutup akses jalan keluar masuk menuju sebuah perusahaan sawit di wilayah Kutai Timur, Kalimantan Timur, pada 31 Januari lalu, sejumlah tokoh Dayak Modang Long Wai dipanggil polisi.
Tokoh adat yang dipanggul adalah Kepala Adat, Daung Lewing; Sekretaris Adat, Benedictus Beng Lui; dan tokoh masyarakat, Elisason.
“Dengan adanya aksi tersebut, masyarakat merasa terganggu dan ada 4 surat pengaduan yang di tujukan ke Polsek Muara Ancalong dikarenakan aktivitas penjualan TBS maupun CPO masyarakat terhambat,” kata Kapolres Kutai Timur, AKBP Welly Djatmoko, seperti dilansir CNN Indonesia, Kamis (11/2).
Tokoh adat tersebut, kata Welly, tak memenuhi dua kali panggilan pemeriksaan yang dilayangkan oleh aparat kepolisian.
Hanya saja, tak dijelaskan secara lebih lanjut ihwal alasan penolakan itu. Polisi hanya menyebut keterangan mereka diperlukan kepolisian dalam kapasitas sebagai saksi dan diklarifikasi terkait perkara tersebut.
“Jadi mereka belum sempat dimintai keterangan,” tambah Welly.
Hingga saat ini belum ada panggilan ketiga yang bakal dilayangkan oleh aparat kepolisian untuk mendalami perkara itu. Welly mengatakan bahwa pihaknya masih melihat situasi terkini pascamediasi rampung dilakukan antara kedua pihak pada Rabu (10/2).
Dalam berita acara kesepakatan rapat, tertulis bahwa kini pemerintah daerah mengacu pada Surat Keputusan Bupati Kutai Timur nomor 130/K.905/2015 tentang penetapan batas administrasi antara Desa Long Bentuq, Desa Rantau
Sentosa, Desa Long Pejeng, Kecamatan Busang dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur.
Pada poin yang lain, temaktub perjanjian bahwa masyarakar adat tak akan melakukan aksi demo atau pemortalan yang bertentangan dengan Undang-undang.
Sementara, pihak perusahaan dari PT Subur Abadi Wana Agung berjanji akan melaksanakan kewajiban membangun kebun plasma.
Adapun, kata dia, perkara penutupan jalan itu terjadi lantaran masyarakat adat Dayak menilai bahwa tanah hutan adatnya telah dicaplok oleh perusahaan tertentu.
Hanya saja, kasus itu pernah rampung pada 2015 lalu lewat sebuah mediasi yang menyatakan bahwa tuntutan itu tak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria nomor 5 Tahun 1999.