bakabar.com, SAMARINDA – Sampai 30 Juni 2018, tercatat sebanyak 983 kasus pernikahan dini sudah terjadi di Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) menjadi yang terbanyak dengan 176 kasus. Disusul, Paser 151 kasus dan Samarinda 109 kasus.
Menurut Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pernikahan di Benua Etam didominasi kaum perempuan.
“Ini menjadi perhatian kita bersama,” ujarnya dikutip bakabar.com dari laman resmi Pemprov Kaltim, Senin (1/4).
Jumlah penduduk Kaltim semester II tahun 2018 mencapai 3.552.191 jiwa. Terdiri dari 1.847.191 (52 persen) laki-laki dan sekitar 1.705.000 (48 persen) perempuan.
Dari jumlah tadi, jumlah anak-anak atau usia kurang 18 tahun sebanyak 1.181.370 jiwa atau sepertiga dari jumlah penduduk Kaltim.
"Di Kukar jumlah anak berdasarkan dengan akta kelahiran terdapat 97 persen atau 227.110 jiwa," sebutnya lagi.
Halda tak menampik perkawinan usia anak di Indonesia telah mendapat sorotan dunia. Data PBB (Unicef) menyebutkan Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia.
Baca Juga: Izin Usaha Kaltim Masih Dominan Sektor Pertambangan
“Di Asean, Indonesia menempati urutan kedua setelah Kamboja,” ujarnya.
Maraknya kasus perkawinan usia anak yang terjadi di Indonesia perlu menjadi perhatian bersama jajaran pemerintah daerah.
DKP3A Kaltim bersama Dinas PPA Kukar rutin menggelar Workshop Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Kutai Kertanegara.
Selain itu, menurutnya pencegahan sudah saatnya tidak hanya mengandalkan slogan tanpa mengetahui akar masalah perkawinan usia anak.
Mengapa ada perkawinan usia anak?
Kata dia, terdapat sejumlah penyebab. Mulai dari faktor budaya, dorongan orangtua, kemiskinan dan anak tersebut mengandung sebelum menikah.
“Di samping itu, adanya rasa malu jika anak perempuan mereka terlambat menikah atau menikahkan cepat untuk menghindari perzinahan,” jelas Halda.
Sementara untuk mengurangi dan mencegah fenomena pernikahan dini. Maka advokasi, edukasi dan sosialisasi kepada orang tua dan anak-anak remaja perlu terus dilakukan.
Terutama melibatkan seluruh stakeholder selain pemerintah. Baik akademis, dunia usaha, media dan masyarakat.
“Bahkan memanfaatkan media sosial sebagai sumber informasi yang paling efektif di era milenial," imbuh Halda.
Halda berharap, kegiatan dan sinergitas mampu membangun pemahaman bersama tentang perkawinan usia anak dan dampak yang ditimbulkan.
Baca Juga: Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay Bakal Jadi Rujukan
“Khususnya meningkatkan peran serta lembaga terkait dan masyarakat dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan,” harap Halda.
Halda mengakui saat ini beberapa aktivis perempuan telah mengajukan yudisial review ke MK namun ditolak dengan berbagai alasan yang berlandaskan moral dan agama.
Editor: Fariz Fadhillah