News

Tak Tahan Bully, Dokter Residen Curhat ke Menkes hingga Resign

Dalam forum diskusi terbuka soal RUU Kesehatan Omnibus Law, seorang dokter umum blak-blakan mengaku sempat menjadi korban bullying. Hal itu dialaminya semasa me

Featured-Image
Ilustrasi. Foto-net

bakabar.com, BANJARMASIN - Dalam forum diskusi terbuka soal RUU Kesehatan Omnibus Law, seorang dokter umum blak-blakan mengaku sempat menjadi korban bullying. Hal itu dialaminya semasa mengemban program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau dokter residen.

Dokter yang enggan menyebutkan namanya itu memilih 'resign' sebagai mahasiswa PPDS di 2023. Bukan tanpa sebab, ia kerap mendapatkan kekerasan verbal hingga psikis sampai mengganggu kejiwaannya.

"Saya dokter umum dari Jawa, mantan residen, mantan mahasiswa PPDS, calon dokter spesialis, yang per tahun 2023 ini terpaksa mengundurkan diri dari PPDS karena saya mengalami kejadian bullying cukup parah dan terus menerus," curhatnya langsung ke Menkes, seperti yang disiarkan di YouTube @Asclepio Masterclass, dikutip bakabar.com pada Senin (1/5).

Ia tak menyangka tempat prodi yang dipilih memiliki kultur 'pendidikan' yang keras. Jauh daripada yang dibayangkan, hingga menurutnya di luar batas kewajaran.

Saat pertama kali masuk, dirinya mengaku sudah diundang dalam sebuah chat group WhatsApp dengan para senior. Di sana, ia dimarahi, dihina, serta mendapat 'perintah' aneh-aneh.

"Misalnya keesokan hari jam 6 pagi diminta lari hingga beberapa km, sejak diterima saya juga sering dihukum hanya karena masalah sepele, seperti terlambat membalas pesan atau typo satu huruf di pesan, sudah bisa jadi alasan kakak kelas menghukum saya," kata dia, dalam diskusi yang juga dihadiri Menkes Budi Gunadi Sadikin.

"Nah saya sebagai kakak angkatan di dalam PPDS pun sudah diajarkan doktrin senioritas di mana saya sebagai residen yang diterima harus 100 persen menurut," sambungnya.

Artinya, apapun yang diminta senior wajib dituruti. Bak 'haram' hukumnya menolak perintah senior dengan apapun alasannya.

Ia sendiri sempat disuruh membelikan barang belanjaan, makanan mahal, rokok, alat tulis, obat-obatan.

"Saya pernah diminta untuk membelikan sesuatu pada jam 12 malam, mengantar ke Rumah Sakit, kemudian membelikan sesuatu pada jam 2 pagi dan mengantar ke Rumah Sakit, atau datang untuk membantu di bangsal padahal bukan waktu jaga,"

Permintaan semacam itu menurutnya malah dianggap wajar di kalangan dokter, tidak jarang para residen disuruh menjemput senior jam dua pagi di airport atau bandara. Karenanya, dokter tersebut memilih berhenti menjalani PPDS setelah dirinya juga disebut mengidap post traumatic stress disorder.

"Semua yang dikerjakan tidak mempertimbangkan jadwal tidur kita walaupun kita habis jaga lebih dari 24 jam, kita tetap harus nurut sama kakak kelas,"

"Saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari PPDS karena kesehatan fisik dan mental saya terganggu, bahkan saya juga rutin konseling sama dokter dan psikiater karen PTSD, gangguan cemas," tutupnya.

Ia berharap permasalahan semacam ini bisa dicegah, di setiap prodi FK dengan memastikan ada pihak yang berperan sebagai supervisi. Supervisi yang berfungsi untuk memantau, mengevaluasi, serta memastikan PPDS berjalan baik, tanpa bullying.

Editor


Komentar
Banner
Banner