LIFESTYLE

Suka Duka Hidup Generasi Sandwich, ‘Terimpit’ antara Orang Tua dan Buah Hati

Generasi sandwich, istilah untuk mendiskripsikan orang yang banting tulang demi menghidupi generasi tua tak berkecukupan, sekaligus buah hati nan belum mandiri.

Featured-Image
Generasi sandwich, terimpit antara kondisi finansial orang tua dan buah hati (Foto: dok. Mommiesdaily)

bakabar.com, JAKARTA - Generasi sandwich. Demikian istilah untuk mendeskripsikan orang yang banting tulang demi menghidupi generasi tua kurang berkecukupan, sekaligus buah hati nan belum mandiri.

Tentu tak mudah menjalani hidup yang demikian. Betapa tidak, meski usia generasi sandwich tergolong produktif, mereka tak memiliki cukup daya guna melakukan mobilitas sosial lantaran harus menanggung beban ekonomi dua generasi.

Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tauchid Komara Yuda, membeberkan fakta serupa pernyataan tersebut: sebagian besar penduduk usia produktif di Indonesia, mayoritas 24 sampai 39 tahun, terjerat impitan ekonomi.

“Pengeluaran untuk kebutuhan keluarga mencapai sepertiga, bahkan setengah dari pendapatan bulanan. Sebab itu, tak jarang muncul pilihan dilematis, semisal meraih pendidikan lebih tinggi atau membiarkan keluarganya hidup dengan pendapatan pas-pasan,” begitu tulisnya, dilansir dari laman ugm.ac.id, Selasa (8/11).

Baca Juga: 5 Kombinasi Makanan yang Tidak Boleh Dikonsumsi Bersamaan

Masalah Kolektif karena Budaya

Istilah generasi sandwich sendiri sudah ada sejak 1981, tepatnya ketika Dorothy A. Miller mempublikasikan jurnal bertajuk The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of the Aging. 

Dalam jurnal tersebut, Dorothy mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup orang tua, juga anak-anak mereka. Merekalah yang menjadi sumber utama penyokong hidup dua generasi.

Sementara, CEO Zap Finance, Prita Ghozie, melalui kanal YouTube-nya menyatakan fenomena generasi sandwich ini tidak terlepas dari masalah kolektif yang terjadi karena budaya turun temurun. 

Budaya Timur mengajarkan nafkah orang tua pada masa rentanya adalah tanggungan anak. Doktrin inilah yang membuat sang anak memiliki masalah dalam mengelola finansial, meski telah memasuki usia produktif dan berkeluarga.

Baca Juga: Murah dan Mudah! Oleskan Bahan Alami Ini pada Bibir Kering

Rentan Alami Tekanan Psikologis

Dorothy dalam jurnalnya turut menyebut bahwa generasi sandwich rentan mengalami tekanan psikologis. Faktor utamanya, karena generasi tua tak menyiapkan masa rentanya dengan baik. Bukan sekadar perihal finansial, tetapi juga kesehatan.

Adapun tekanan psikologis yang dimaksud, antara lain mudah kelelahan dan stres. Juga, merasakan burnout alias kelelahan fisik dan mental, depresi, serta merasa bersalah dan khawatir secara terus menerus.

Tekanan yang demikian, lambat laun, bakal berimbas pada terganggunya kemampuan dalam mengelola pekerjaan, hobi, hubungan, bahkan waktu untuk diri sendiri. Parahnya lagi, muncul perasaan tidak mampu menjadi anak, pasangan, atau orang tua yang baik secara bersamaan.

Atur Finansial sejak Dini

Mengingat dampak negatif yang dirasakan generasi sandwich begitu memberatkan kesehatan psikologis, penting untuk dipahami cara menghentikan ‘tradisi’ yang demikian. Salah satunya, dengan mengatur finansial sedini mungkin.

Prita Ghozie mewanti-wanti generasi yang berpotensi menjadi ‘sandwich’ untuk menentukan prioritas keuangan. Buatlah pembukuan finansial, sehingga pengelolaan keuangan tercatat jelas.

Baca Juga: Senjakala Televisi dari Masa ke Masa

Usahakan pula untuk menyeleksi kembali keperluan yang penting dan tidak. Ketimbang mengeluarkan uang untuk kebutuhan tersier, lebih baik alokasikan dana tersebut untuk investasi dan asuransi.

Kepala Subbagian Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Regional IV JATIM, Fida Syarifa Syifa, menyebut besaran dana yang bisa diinvestasikan sebesar 20 persen dari pendapatan. 

“Dengan menyisihkan 20 persen dari uang pendapatan untuk investasi itu bisa melindungi nilai uangnya dari adanya inflasi. Dengan catatan, instrumen investasi yang kita pilih bagus dan memenuhi kriteria 2 L (logis dan legal),” ujarnya, dikutip dari laman unair.ac.id.

Meski angka 20 persen terlihat kecil, nyatanya kebanyakan orang masih merasa sulit untuk meralisasikannya. Sebab itulah, Firda menegaskan, dibutuhkan keseriusan dan konsistensi dalam menyisihkan uang demi menunjang masa depan.

Editor


Komentar
Banner
Banner