bakabar.com, JAKARTA – Menjelang kemerdekaan Indonesia, seorang wanita yang tengah hamil tua terlihat menitikkan air mata sembari menjahit sesuatu. Dengan bersusah payah, tangannya menjalankan mesin jahit singer, yang mestinya digerakkan menggunakan kaki.
"Ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih. Dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit," kata wanita itu, dikutip dari karya Bondan Winarno berjudul Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.
Dia adalah Fatmawati, istri ketiga dari Presiden Soekarno. Meski kala itu kondisi fisiknya cukup rentan, wanita kelahiran 5 Februari 1923 ini tetap memaksakan diri untuk menjahit Sang Saka supaya bisa berkibar sesaat setelah proklamasi berkumandang.
Jiwa nasionalisme Fatmawati tergugah tatkala dirinya tak sengaja mendengar percakapan Bung Karno bersama tokoh lain, soal perlengkapan yang bakal digunakan untuk momen pembacaan teks proklamasi. Dirinya mendengar bahwa bendera Indonesia belum tersedia.
Dia pun lantas memutuskan untuk menjahit bendera Indonesia. Dengan bantuan Chaerul Basri, seorang pemuda asal Bukit Tinggi, Fatmawati meminta kain merah dan putih kepada Shimizu, pimpinan barisan Propaganda Jepang Gerakan Tiga A.
Kala itu, tak mudah untuk memperoleh kain merah dan putih lantaran barang-barang impor sepenuhnya dikuasai Jepang. Kalau pun komoditas tersebut tersedia, untuk mendapatkannya mesti dengan 'berbisik-bisik.'
Beruntung, Fatmawati sudah berkawan akrab dengan Shimizu. Sosok perantara dalam perundingan Indonesia-Jepang itu segera menghubungi rekannya, yang merupakan pembesar Jepang. Dia berhasil memperoleh dua blok kain berwarna merah dan putih dari gudang di Pintu Air, tempat di mana rekannya berkuasa.
Fatmawati kemudian menjahit kain tersebut menggunakan mesin jahit sederhana. Dengan tertatih-tatih, dirinya berupaya menyelesaikan jahitan itu tepat waktu. Sang Saka berukuran 2 x 3 meter ini berhasil dikibarkan di Jalan Pengangsaan Timur Nomor 56, usai naskah prokalamasi dibacakan.
Selama bertahun-tahun, bendera tersebut selalu dikibarkan setiap tanggal 17 Agustus. Alhasil, kondisinya pun menjadi rapuh dan berakhir disimpan sebagai benda pusaka negara.
Perjalanan Fatmawati sampai Bertemu Bung Karno
Pada 5 Februari 1923 di Bengkulu, dari rahim perempuan bernama Siti Chadijah, lahirlah seorang putri. Ketika dilahirkan, ada dua nama yang akan diberikan kepadanya, yaitu Fatmawati yang berarti bunga teratai, dan Siti Djabaidah yang diambil dari salah satu nama istri Nabi Muhammad.
Kedua nama itu ditulis pada secarik kertas, kemudian digulung dan diundi bak arisan masa kini. Pilihan pun jatuh kepada nama Fatmawati, sosok yang bakal menjadi Ibu Negara pertama di Indonesia.
Suatu ketika, seorang ahli nujum terkenal membaca garis tangan Hasan Din, ayah Fatmawati. Ramalan itu mengatakan bahwa putrinya akan menikah dengan seorang pria yang memiliki kedudukan tinggi di negeri ini.
Hasan Din tak lantas percaya begitu saja. Namun, takdir ternyata benar-benar mewujudkan ramalan tersebut. Fatmawati akhirnya bertemu dengan Soekarno, tatkala presiden pertama Indonesia itu tengah diasingkan ke Bengkulu.
Kala itu, tepatnya pada 1938, Hasan Din pertama kali mengajak putrinya menemui Bung Karno. Mata berbinar, badan tegap, dan tawa yang lebar dari Soekarno terus melekat dalam pikiran Fatmawati.
"Masih kuingat, aku mengenakan baju kurung merah hati dan tutup kepala voile kuning dibordir,” kata dia, saat melukiskan pertemuan pertamanya itu dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Hubungan baik yang dijalin keluarga Fatmawati dan Soekarno semakin akrab, sampai-sampai Bung Karno membantu wanita asal Bengkulu itu untuk melanjutkan sekolah di RK Vackshool.
Hubungan pribadi keduanya baru terjalin usai Hasan Din meminta pendapat Soekarno terkait seorang pria yang melamar Fatmawati. Mendengar hal itu, Bung Karno langsung mengungkapkan bahwa dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Fatmawati.
Fatmawati, yang kala itu usianya terpaut jauh dengan Soekarno, tentu tak langsung menerima ungkapan cinta tersebut. Dia bahkan sempat menyampaikan keresahannya lantaran Bung Karno masih terikat janji suci dengan Inggit Garnasih.
Tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa hubungan Inggit dan Soekarno sudah berakhir. Meski begitu, kisah cinta Fatmawati dan Bung Karno tak langsung berjalan mulus. Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang sempat menjadi penghalang tali kasih mereka.
Walau diadang kondisi krisis, Soekarno tetap memantapkan hati untuk menikahi Fatmawati. Akhirnya, pada Juli 1942, keduanya resmi menikah. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Akhir Perjalanan Hidup Fatmawati
Biduk rumah tangga Soekarno dan Fatmawati, sayangnya, tak berjalan mulus sampai ajal memisahkan mereka. Hubungan keduanya renggang usai sang suami meminta izin untuk menikah lagi.
Meski tak diberi restu, Bung Karno diam-diam menikahi perempuan asal Jawa bernama Hartini pada 1953. Fatmawati lantas meminta suaminya untuk berpisah lantaran tak setuju dengan praktik poligami. Menurutnya, poligami tidak adil dan merendahkan martabat perempuan.
Fatmawati sendiri meninggal dunia pada 14 Mei 1980, usai menunaikan ibadah Umroh, karena terkena serangan jantung ketika pesawat singgah di Kuala Lumpur dalam penerbangan menuju Jakarta dari Mekkah. Dia kemudian dimakamkan di pemakaman umum Karet Bivak Jakarta.
Dua puluh tahun usai kepergiannya, tepatnya pada tahun 2000, pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Fatmawati. Namun, salah satu putrinya, Sukmawati Soekarnoputri, merasa kecewa lantaran pemberian gelar tersebut termasuk terlambat. (Nurisma)