Borneo Hits

Sentra Budi Luhur Ajak Desa di Kalsel Mewujudkan Layanan Sosial Inklusif

emenuhan hak-hak penyandang disabilitas menjadi sorotan utama dalam Workshop Layanan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat melalui Desa Inklusi yang digelar S

Featured-Image
Workshop Program Layanan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat melalui Desa Inklusi yang digelar Sentra Budi Luhur dalam rangka peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025. Foto: bakabar.com/Fida

bakabar.com, BANJARBARU — Pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas menjadi sorotan utama dalam Workshop Layanan Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat melalui Desa Inklusi yang digelar Sentra Budi Luhur Banjarbaru, Kamis (4/12).

Bertepatan dengan rangkaian Hari Disabilitas Internasional 2025, workshop menegaskan bahwa layanan sosial bagi difabel kini harus berpijak kepada hak, bukan belas kasihan.

Dengan mengusung tema 'Setara Berkarya, Berdaya Tanpa Batas', ratusan peserta terdiri dari 86 perwakilan desa di Banjar dan 20 kelurahan di Banjarbaru hadir membahas agar desa menjadi ruang inklusif yang memastikan tidak satu pun penyandang disabilitas tertinggal dalam pembangunan sosial.

Kepala Sentra Budi Luhur Banjarbaru, Bambang Tri Hartono, menekankan bahwa sebagian besar panti sosial berada dalam kondisi penuh. Namun kondisi ini bukan hanya soal keterbatasan fasilitas, melainkan momentum memperkuat pendekatan berbasis masyarakat.

Menyikapi situasi itu, desa perlu bertransformasi dari sekadar lokasi penyaluran bantuan menjadi lembaga yang memastikan hak-hak dasar penyandang disabilitas terpenuhi. Mulai dari akses layanan, dukungan keluarga, pendampingan, hingga pemberdayaan ekonomi.

“Desa didorong membuat peraturan desa untuk menjamin penyandang disabilitas dan kelompok rentan mendapatkan haknya,” tegas Bambang.

Pembuatan regulasi desa merupakan langkah awal agar penyandang disabilitas tidak lagi bergantung kepada kemurahan hati ataupun kegiatan seremonial, tetapi mendapat pengakuan sebagai warga negara dengan hak yang setara.

Forum juga menekankan bahwa hak tidak bisa ditegakkan tanpa data akurat. Makanya desa diharapkan melakukan pendataan rutin, bukan hanya untuk kepentingan penyaluran bantuan, tetapi sebagai dasar merancang kebijakan pembangunan inklusif, pendidikan, kesehatan, hingga aksesibilitas fasilitas publik.

Masyarakat desa pun didorong aktif membentuk wadah atau organisasi yang memastikan suara penyandang disabilitas benar-benar didengar dalam proses musyawarah desa. Dengan begitu, mereka dapat terlibat dalam perencanaan program, bukan sekadar menjadi objek kebijakan.

Sebagai contoh penerapan hak disabilitas di tingkat desa, Ahmad Fauzi dari Desa Bi’ih, Kecamatan Karang Intan, membagikan pengalaman dalam mengakomodasi kebutuhan difabel melalui Peraturan Desa (Perdes) tentang Disabilitas.

Perdes tersebut mengakui keberadaan 30 penyandang disabilitas dengan beragam kondisi fisik, mental, dan intelektual. Lebih penting lagi, aturan ini memastikan mereka mendapatkan layanan yang setara dan akses terhadap program pemberdayaan.

“Pelatihan pembuatan kue, keripik dan sebagainya telah dilakukan agar mereka bisa berpenghasilan. Produk ini sudah dipasarkan di warung desa maupun desa tetangga,” jelas Fauzi.

Editor


Komentar
Banner
Banner