bakabar.com, BANJARMASIN – Aset kripto memiliki jumlah yang sangat beragam.
Memilih aset kripto untuk dijadikan sebagai investasi jangka panjang pun menjadi lebih tricky.
Terkadang, punya market cap yang besar dan likuiditas yang baik belum tentu sepenuhnya menjadi tolak ukur apakah sebuah aset kripto menarik untuk dijadikan aset investasi.
Hal ini lah yang terjadi pada XRP, sebuah koin buatan Ripple.
Padahal, jika dilihat dari marketcap, XRP termasuk sebagai salah satu yang paling likuid di antara aset kripto digital lainnya.
Merujuk Coinmarketcap.com, XRP memiliki market cap terbesar kelima, yakni sebesar US$ 46,97 miliar.
Managing Partner Bullwhales Douglas Tan mengatakan market cap sebenarnya tidak lantas bisa jadi tolak ukur untuk menilai apakah sebuah proyek itu baik atau tidak.
Dia tidak menampik jika XRP secara market cap dan volume masuk dalam kategori yang tinggi hampir di setiap exchange.
Hanya saja, sudah tidak terdapat gelombang investor baru pada kelas aset ini.
"Ini bisa dibuktikan oleh closed end fund terbesar di dunia yakni Grayscale, tidak membuka produk investasi kepada institusi dengan underlying XRP. Padahal, beberapa koin terdahulu lainnya seperti BTC, ETH, ETC, LTC yang ditawarkan oleh Grayscale," ucap Douglas seperti dilansir bakabar.com dari Kontan, Sabtu (24/4).
Douglas menambahkan, dari sisi harga, XRP juga tidak menunjukkan kinerja yang baik.
Dalam dolar AS, harga XRP saat ini masih jauh dari harga ATH pada Desember 2017.
Berbeda dengan BTC yang sudah mengalami kenaikan 3x dari ATH Desember 2017.
Hal tersebut semakin menegaskan tidak ada pemain baru yang mentransaksikan XRP.
Kendati begitu, Douglas menilai XRP masih bisa dijadikan sebagai instrumen trading yang menarik karena punya volatilitas yang tinggi.
Kondisi tersebut yang kerap kali dimanfaatkan investor maupun spekulan untuk mengambil posisi pada dua arah.
Baik secara long (ekspektasi harga naik) ataupun short (ekspektasi harga turun).
Sementara dalam beberapa waktu terakhir, pergerakan harga XRP cukup volatile.
Douglas menyebut penyebabnya adalah terdapat beberapa dakwaan atas Ripple (parent company yang mengeluarkan XRP) dengan tuduhan bahwa mereka tergolong sebagai efek bukan sebagai komoditas.
Juga ada dakwaan lain seperti Ripple yang memiliki model bisnis yang tidak etis, di mana mencatat penjualan coin XRP sebagai revenue.
Padahal, proyek blockchain lain mencatatkan revenue dari biaya transaksi.
"XRP tidak memiliki utilitas yang jelas saat ini dalam hal kontribusi inklusi keuangan secara global. Apa yang mereka lakukan adalah menjual pre-mined coin (yang dapat dicetak secara terus menerus oleh para founder-nya) kepada para institusi, dengan alih-alih membantu remitansi antar negara," imbuh Douglas.
Selain itu, beberapa kerjasama terakhir yang dilakukan Ripple dengan money transmitter seperti Moneygram tidak kunjung membuahkan hasil yang signifikan.
Tren ini diekspektasikan akan terus berlanjut hingga beberapa tahun kemudian.