bakabar.com, JAKARTA – Mata uang rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam sepekan. Penguatan tipis pada Jumat (17/9/2021) kemarin tidak mampu membuat rupiah berbalik ‘memukul’ dolar AS selama seminggu ini.
Menurut data Refinitiv, rupiah berhasil menguat 0,18% ke posisi Rp 14.225/US$ pada penutupan perdagangan kemarin. Namun, dalam sepekan, rupiah ‘loyo’ di hadapan dolar AS dengan turun 0,18%.
Kendati terdapat sejumlah sentimen positif yang sempat membuat rupiah menguat tipis dalam beberapa hari, mulai dari pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sampai neraca dagang yang kembali mencatat surplus hingga 15 bulan beruntun, secara keseluruhan lebih banyak sentimen negatif di pasar.
Saat sentimen pelaku pasar memburuk, yang tercermin dari melemahnya bursa saham, dolar AS yang menyandang status safe haven diuntungkan. Alhasil, rupiah pun diterpa aksi profit taking.
“Dinamika yang terjadi saat ini menguntungkan dolar AS,” kata Rodrigo Catril, ahli strategi mata uang di National Australia Bank (NAB), sebagaimana dilansir CNBC International.
Ia mengatakan saat ini sedang terjadi sentimen alih risiko, sebab kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) melonjak di beberapa negara yang vaksinasinya sudah tinggi, seperti Singapura, Inggris bahkan termasuk Amerika Serikat.
Pelaku pasar global mulai cemas dengan kemungkinan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang akan dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed). Sebelum The Fed, bank sentral Inggris, Australia, dan Eropa sudah mengurangi nilai pembelian asetnya.
Bank sentral Korea Selatan bahkan sudah menaikkan suku bunga.
Artinya, arah kebijakan moneter global kini mulai mengetat. Tetapi di sisi lain, kasus Covid-19 masih terus menanjak. Ada kecemasan saat dukungan moneter berkurang, kemudian kasus Covid-19 kembali menanjak, perekonomian global bisa kembali terpuruk.
Saat ini, pasar sedang menantikan detail tapering The Fed pada pekan depan.
“Kita menanti rapat kebijakan moneter The Fed pekan depan, itu tetap akan menjadi fokus utama. Saya pikir sebelum pengumuman tersebut, dolar AS tidak akan mengalami pergerakan besar, baik menguat atau pun melemah,” kata Shinichiro Kadota, ahli strategi di Barclays Tokyo, sebagaimana dilansir CNBC International.
Dengan rilis data inflasi yang melambat, dan data tenaga kerja yang mengecewakan awal bulan ini membuat rapat The Fed kali ini disebutkan antiklimaks.
Tetapi, bukan berarti tidak akan penting, kejutan bisa saja terjadi. Selain itu, Suki Cooper, analis dari Standard Chartered Bank melihat tapering baru akan diumumkan pada bulan November, tetapi rapat kebijakan moneter The Fed bulan ini akan berisi dot plot, yakni proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Sehingga tetap akan menjadi perhatian besar bagi pelaku pasar.
“Meski pengumuman tapering tidak akan dilakukan hingga bulan November, rapat kebijakan The Fed bulan ini akan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Dan proyeksinya akan sama dengan tahun 2023, yakni dua kali kenaikan suku bunga,” kata Cooper.