News

Ritual Tiwah di Pondok Damar, Simbol Cinta dan Penghormatan Umat Kaharingan

Warga Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotim, menggelar Tiwah, upacara sakral hindu kaharingan mengantarkan arwah menuju surga.

Featured-Image
Ritual Tiwah yang dilaksanakan keluarga besar Hasbullah, warga Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara. Minggu (26/10/2025). Foto: bakabar.com/Ilhamsyah Hadi

bakabar.com, SAMPIT – Dentuman gong, lantunan doa, dan aroma dupa menyelimuti udara Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, Minggu (26/10/2025).

Di bawah langit mendung dan diiringi tabuhan musik tradisional, keluarga besar Hasbullah melaksanakan ritual Tiwah, upacara sakral umat Hindu Kaharingan untuk mengantarkan arwah leluhur menuju Lewu Tatau atau surga.

Tiwah bukan sekadar tradisi adat, tetapi merupakan ritual keagamaan tertinggi dan terakhir dalam ajaran Kaharingan. Prosesi ini diyakini sebagai wujud kasih sayang dan penghormatan terakhir kepada leluhur agar roh mereka diterima oleh Ranying Hatalla Langit, Sang Pencipta.

Pelaksanaan Tiwah bukan perkara sederhana. Persiapannya memakan waktu panjang dan biaya besar, bahkan bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Bagi masyarakat Dayak, hal ini adalah bentuk pengorbanan demi keluhuran arwah keluarga.

Rangkaian ritual dimulai dari pengangkatan tulang belulang leluhur yang telah dimakamkan. Tulang-tulang itu dibersihkan, dibungkus rapi, dan diletakkan di panggung ritual selama sehari penuh. Pada puncak acara, keluarga mempersembahkan hewan kurban berupa dua ekor kerbau, tiga ekor babi, dan beberapa ekor ayam. Hewan-hewan ini dipercaya menjadi kendaraan roh menuju surga sekaligus membawa kesuburan dan kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ritual dipimpin oleh para pisor (pendeta Kaharingan) yang memimpin doa serta tarian suci menganjan mengelilingi sangkaraya sebanyak tujuh kali untuk memanggil roh leluhur. Setelah persembahan, tulang belulang dimasukkan ke dalam sandung, tempat suci penyimpanan tulang. Sebelum itu, keluarga menggendong dan mengelilingi sangkaraya tiga kali, diiringi tangisan haru dan doa.

“Tujuannya agar roh leluhur benar-benar diterima di Lewu Tatau, dan keluarga yang ditinggalkan mendapatkan berkah,” ujar Pisor Desa Pondok Damar, Janel I Antang.

Ia menambahkan, prosesi Tiwah terdiri dari beberapa tahapan seperti mendirikan sangkaraya, pengangkatan kerangka, tabu atau pengorbanan hewan, serta nyakean — yakni memasukkan tulang ke dalam sandung.
“Lamanya waktu tidak ditentukan. Asal keluarga sudah siap, Tiwah bisa dilaksanakan kapan saja,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Desa Pondok Damar, Kenos, menyebut Tiwah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat setempat. Tradisi ini dilaksanakan turun-temurun sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada arwah leluhur.

“Pelaksanaan bisa besar atau sederhana, tergantung kemampuan keluarga. Yang penting niat dan keikhlasan dalam mengantarkan roh menuju surga,” kata Kenos.

Ritual Tiwah terakhir untuk almarhum Damang Hasbullah dilaksanakan secara sederhana selama satu malam. Meski tidak megah, prosesi tetap berlangsung khidmat dan penuh makna.

Menyesuaikan zaman, masyarakat kini mulai menggunakan bahan modern dalam beberapa perlengkapan ritual. Jika dulu sandung dibuat dari kayu ulin, kini bisa menggunakan beton tanpa mengurangi nilai sakralnya.
“Kita menyesuaikan dengan zaman. Yang penting makna dan tujuannya tetap sama,” jelas Kenos.

Menurutnya, pemerintah desa berkomitmen menjaga warisan budaya Kaharingan. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah daerah, Pondok Damar kini menjadi role model pelestarian adat Dayak dari tujuh desa di Kecamatan Mentaya Hilir Utara.
“Sekitar 70 persen warga Pondok Damar masih menganut Hindu Kaharingan. Kami terus membina agar adat ini tidak punah,” tambahnya.

Di sisi lain, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotim, Wim RK Benung, menyatakan dukungan penuh pemerintah terhadap kegiatan adat dan keagamaan seperti Tiwah.
“Ritual Tiwah adalah warisan budaya yang sangat berharga. Kami ingin kegiatan ini terus dilestarikan dan bahkan dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya, tanpa mengurangi kesakralannya,” ujarnya.

Ia menambahkan, pihaknya berencana menggelar Tiwah massal di Kota Sampit pada 2026 atau 2027, bekerja sama dengan Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MD-AHK) dan lembaga adat setempat.
“Kami ingin menghidupkan kembali tradisi leluhan, bagian dari ritual Tiwah yang menggunakan kapal dan lempar bambu antar peserta. Ini sudah lama tidak dilakukan di Sampit,” jelas Wim.

Selain pelestarian budaya, pemerintah juga melihat potensi ekonomi dan pariwisata lokal dari kegiatan ini.
“Dengan promosi yang tepat, Tiwah bisa menarik wisatawan, menambah PAD, dan menggerakkan UMKM lokal,” pungkasnya.

Dalam ajaran Hindu Kaharingan, Tiwah adalah simbol cinta, penghormatan, dan pelepasan. Melalui upacara ini, keluarga percaya bahwa arwah yang diantarkan dengan penuh kasih akan mencapai Lewu Tatau — tempat suci bagi roh yang telah menyatu dengan Sang Pencipta.

Editor


Komentar
Banner
Banner