bakabar.com, BANJARBARU – HM, seorang kepala dinas (kadis) di Pemkab Hulu Sungai Selatan (HSS) resmi berstatus tersangka dugaan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kasat Reskrim Polres Banjarbaru, Iptu Martinus Ginting mengatakan penetapan tersangka HM dilakukan sehari setelah gelar perkara 15 Desember lalu.
“16 desember 2021 ditetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita layangkan juga terhadap terlapor, kita panggil sebagai tersangka,” ujar Martinus, Selasa (21/12).
Dari gelar perkara tersebut, polisi menemukan unsur kekerasan psikis yang dilakukan HM kepada istrinya.
Hari ini, rencananya bakal dilakukan pemeriksaan terhadap HM di Mapolres Banjarbaru.
“Kita periksa tersangka setelah itu berkas perkaranya kita kirim ke jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Banjarbaru,” jelasnya.
Kasi Humas Polres Banjarbaru AKP Tajudin Noor menambahkan pemeriksaan hari ini guna melengkapi berkas yang kurang. HM tidak ditahan.
“Info dari PPA [Unit perlindungan perempuan dan anak] tidak ditahan. Ancaman pidana di bawah 5 tahun,” ungkapnya.
HM disangka melanggar Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT.
“Ancaman hukumannya 4 bulan penjara,” tutupnya.
Kronologis kasus di halaman selanjutnya:
Medio Juli 2021 silam, HM dilaporkan oleh istrinya sendiri ke Mapolres Banjarbaru.
"Memang pelapor mengatakan suaminya ASN di Kabupaten HSS, memang keterangan beliau suaminya kepala dinas tertentu," ujar Martinus kala itu.
Sejak itu sejumlah saksi terkait kasus diperiksa kepolisian.
"Sudah melakukan pemanggilan beberapa saksi ada paman dan adiknya. Pelapor melaporkan kejadian tersebut juga disertai dengan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa si pelapor ini dalam keadaan stres artinya psikisnya terganggu," jelasnya.
Laporan keterangan dokter itupun katanya segera diselidiki, jika benar maka akan disandingkan dengan keterangan ahli psikologi.
"Ke depan kami juga akan melakukan pemeriksaan kepada dokter tersebut apakah benar mengeluarkan surat itu. Selanjutnya nanti keterangan dokter akan kita sandingkan dengan keterangan ahli psikologi. Dari sini nanti kita dapat menyimpulkan apakah benar pada korban telah terjadi KDRT berupa kekerasan psikis," terang Martinus.
KDRT bersifat psikis kata Martinus termuat dalam UU KDRT pasal 45 dengan ancaman hukuman maksimal 3 tahun penjara.
Sementara itu, Kuasa Hukum AN, Siti Hastati Pujisari membeberkan inti dari laporan kliennya.
"Beliau ASN kepala dinas di salah satu SKPD di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Laporan berkenaan dengan dugaan KDRT dan penelantaran sesuai UU KDRT No 23 tahun 2021. Sementara laporan kami sudah diterima dan terus berproses," ujarnya.
Sang istri datang melapor dengan membawa secarik surat laporan dokter yang menyatakan bahwa ia mengalami stres lantaran merasa ditelantarkan hingga ditalak.
Jadi, terangnya, yang dilaporkan juga terkait dengan nafkah yang diberikan tidak layak, kemudian ditalak melalui pesan singkat whatsapp, serta ditinggalkan pada saat masih sakit karena keguguran.
"AN, selama berumah tangga mendapatkan tekanan di antaranya korban tidak boleh ikut berorganisasi sementara dia sebagai istri kepala dinas harusnya mengelola dan mengoordinir DPW di SKPD nya tetapi ternyata oleh suaminya tidak diberikan izin," terang Hastati.
Hal itu katanya yang membuat AN kecewa sehingga mengalami depresi tingkat sedang yang dibuktikan dengan surat keterangan dari salah seorang dokter psikiater.
"Jadi yang diinginkan klien saya selaku istri sah dan tercatat dalam buku nikah. Seharusnya si terlapor memenuhi kewajibannya sebagai suami. Kedua, banyak hak hak AN yang tidak dipenuhi atau bahkan terlanggar oleh si terlapor. Kami menunggu itikad baik dari pihak sana tapi sampai detik ini tidak ada. Pihak terlapor menganggap dengan sudah ditalak melalui WA sudah disebut sebagai cerai talak," jelas Hastati
Menurutnya, mengikuti aturan negara untuk prosedur perceraian dari pernikahan yang diakui negara, maka harus melalui tahapan pengadilan hingga akta cerai keluar.
"Padahal aturan negara, seorang PNS tidak semudah itu melakukan cerai talak, ada prosedurnya, mekanisme yang harus dilakukan terlebih dahulu. Kalau ingin melakukan perceraian harus melalui mekanisme yang benar melalui keputusan pengadilan dan ada akta cerai," cetusnya.
Membenarkan apa kata kuasa hukumnya, AN mengaku sudah berusaha mengalah untuk memperbaiki hubungannya dengan sang suami namun tidak ada hasil.
"Dan akhirnya saya menyerahkan ke kuasa hukum saya untuk menyerahkan ke polisi mengenai KDRT yang saya alami selama awal perkawinan sampai sekarang, awalnya saya bahagia tapi sekarang tidak lagi," ungkapnya.
AN merasa ditelantarkan selama perkawinan sebab selain dirinya dilarang mengikuti kegiatan suaminya sebagai kepala dinas, dan dilarang mengikuti dharma wanita, juga tak dijenguk usai keguguran.
"Saya sebagai istri sahnya merasa ditelantarkan, disia - siakan dan tidak dinafkahi lahir dan batin, bahkan ditalak lewat WA dan saya tidak terima. Selama saya menjalani pernikahan dengan beliau, saya tidak didaftarkan di slip gaji, setelah saya cek di taspen ternyata suami saya tidak mengganti statusnya dan tidak melaporkan diri menikah lagi dengan saya dan masih menerima uang dari pensiunan istrinya (terdahulu)," bebernya.
"Saya trauma mengalami kekerasan psikis. Dari awal pernikahan, saya mengalami tekanan tekanan dari beliau," AN mengakhiri.
Diduga KDRT, Oknum Kadis di Kandangan HSS Dipolisikan Istri Sendiri!