bakabar.com, JAKARTA – Gelombang penolakan revisi terhadap aturan perlindungan tumbuhan dan satwa liar makin meluas.
Kali ini, penolakan datang dari 60 organisasi masyarakat sipil di bawah nanungan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Indonesia (JPIK). Revisi beleid tersebut dianggap hanya akan memuluskan perburuan sejumlah kayu eksotis.
Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 106/2018 juga seakan mengamini laju deforestasi hutan alam di Indonesia.
Peraturan ini dianggap telah membebaskan status perlindungan terhadap spesies kayu endemik yang sebelumnya dilindungi sehingga bebas untuk dimanfaatkan dan diperdagangkan.
Baca Juga:WALHI Kalsel Sesalkan Pencoretan Pohon Ulin sebagai Flora Dilindungi
Permen LHK No 106/2018 sebagai perubahan kedua dari Permen LHK No 20/2018 telah mengubah status 10 spesies kayu dari lampiran daftar kayu yang dilindungi. Sebagian besar di antaranya termasuk dalam katetegori langka dan terancam punah.
Spesies kayu tersebut antara lain; kayu Besi/Merbau Maluku (Intsia palembanica), Ulin (Eusideroxylon zwagery), Damar Pilau (Agathis bornensis), Palahlar Mursala (Dipterocarpus cinereus), Palahlar Nusakambangan (Dipterocarpus littolaris), Kokoleceran (Vatica bantamensis), Upan (Upuna bornensis), Medang lahu (Beilschmiedia madang), Kempas Malaka (Koompasia malaccensis), Kempas Kayu Raja (Koompasia exselsa).
Spesies-spesies ini tumbuh secara alami di hutan alam dengan populasi semakin menipis.
Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam perubahan aturan ini adalah banyaknya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang menebang spesies kayu dilindungi terkendala dalam proses penataan hasil hutan.
Hal lain adalah timbulnya permasalahan hukum ketika IUPHHK-HA menebang kayu dengan status dilindungi di areal kerja konsesinya sehingga pasokan bahan baku di sektor hilir terkendala.
Dhio Teguh Ferdyan Pengkampanye JPIK menilai kelonggaran yang diberikan pemerintah kepada pemilik izin IUPHHK-HA justru bertolak belakang dengan semangat perlindungan keanekaragaman hayati dan penegakan hukum dari peraturan sebelumnya.
Apalagi 8 dari 10 jenis kayu ini berdasarkan IUCN red list dikategorikan sebagai spesies yangkritis, genting, dan rentan, bahkan 5 di antaranya merupakan spesies endemik.
"Dengan mempertimbangkan rendahnya populasi dan tingginya tingkat keterancaman, seharusnya KLHK tetap menjadikan spesies tersebut dalam kategori dilindungi, bukan malah membuka peluang dan memberikan kebebasan pemanfaatan kayu terancam punah," Dhio dalam keterangan resmi yang diterima bakabar.com.
Ulin merupakan salah satu spesies kayu yang statusnya berubah menjadi tidak dilindungi, merupakan kayu yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Dayak.
Keterkaitan ulin dengan masyarakat adat Dayak tak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan kayu untuk rumah panjang dan patung sebagai simbol, lebih dari itu ulin memiliki kaitan erat dengan kebudayaan masyarakat adat Dayak.
“Bagi suku Dayak kehilangan ulin berarti hilangnya jati diri dan kebudayaan. Bagi mereka ulin bukan dinilai dari banyaknya kubikasi, tapi daun, batang, dan buah mengandung arti yang tidak terpisahkan," Ahmad SJA Direktur PADI Indonesia menambahkan.
Organisasi non pemerintahan yang memiliki anggota aktif tersebar dari Aceh hingga Papua itu khawatir pemberlakuan Permen tersebut membuka ruang bagi para pemburu kayu-kayu eksotis bernilai ekonomi tinggi untuk memperdagangkannya secara masif.
“Pada akhirnya menjadi tanda-tanda kehancuran keanekaragaman hayati.”
Baca Juga:Dicoret Sebagai Flora Dilindungi, Ulin Terancam Bebas Diperjualbelikan di Kalsel
Editor: Fariz Fadhillah