bakabar.com, BANJARMASIN – Sekalipun sudah vaksin dosis dua, pemerintah menetapkan syarat baru penumpang pesawat untuk menyertakan hasil pemeriksaan negatif Covid-19.
Belakangan, sejumlah pihak mempertanyakan syarat baru tersebut. Terlebih hanya menyasar pelaku transportasi udara.
Komnas HAM sampai angkat bicara. Komisioner Beka Ulung Hapsara menilai syarat PCR 2×24 jam memberatkan sejumlah warga lantaran tak semua daerah dengan rute penerbangan pesawat memiliki laboratorium yang memberikan layanan cepat untuk mengeluarkan hasil tes PCR tersebut.
Beka mengingatkan pemerintah bahwa biaya dan akses PCR masih tergolong tak terjangkau warga. Terkini, batasan tarif tertinggi pemeriksaan screening covid-19 melalui tes PCR masih berada pada tarif Rp495 ribu untuk daerah di Jawa-Bali, dan Rp525 untuk daerah luar Jawa-Bali.
“Kebijakan harus dibatalkan. Diganti dengan kebijakan lain tanpa harus meninggalkan kewaspadaan kita akan potensi naiknya penyebaran Covid-19,” ujar Beka, dikutip bakabar.com dari CNN Indonesia.
Pemerintah beralasan tes PCR untuk naik pesawat diperlukan karena sudah tidak diterapkan gap antara tempat duduk di pesawat sehingga maskapai penerbangan bisa mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh.
Termasuk, sebagai upaya mengantisipasi terjadinya gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia yang dikhawatirkan terjadi pada akhir tahun nanti.
Tak hanya Komnas HAM, Panel ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait Covid-19 Dicky Budiman juga mengkritik kebijakan pemerintah tersebut.
Ia menilai pemerintah kurang bijak saat mewajibkan syarat PCR untuk transportasi pesawat. Terlebih, risiko penularan Covid-19 di pesawat terbilang rendah.
“Kalau bicara penerbangan pesawat, risiko terjadinya klaster penularan di pesawat itu sangat kecil dibanding moda transportasi lain, karena dia ada filter dengan HEPA sirkulasi 20 kali dalam sejam, membuat transmisi menjadi sangat kecil,” ungkap Dicky dikutip dari Detik.com, Senin (25/10).
Selain YLKI, dr Tirta melalui akun Twitter-nya, @tirta_cipeng, juga meminta agar swab PCR sebagai syarat naik pesawat dihapus. Syarat naik pesawat cukup menggunakan swab antigen sebagai alat diagnosis dan screening. Dia beralasan penularan Corona di pesawat itu rendah.
“Kembalikan fungsi swab PCR menjadi alat diagnosa. Cukup screening antigen saja. Karena agak aneh aja, kenapa hanya naik pesawat yang diwajibkan swab PCR. Padahal sudah beberapa sumber ilmiah yang menekankan justru penularan di pesawat itu paling rendah,” tulis dr Tirta.
Gelombang kritik terhadap pemerintah tersebut memuncak setelah muncul petisi penghapusan PCR sebagai syarat penerbangan di situs change.org. Petisi diinisiasi oleh Herlia Adisasmita dan sudah diteken oleh lebih dari 14 ribu orang.
Berikut isi petisi penghapusan PCR:
Pandemi sudah berjalan hampir dua tahun! Ekonomi dunia hancur lebur. Yang harus semua orang ketahui, BALI jauh lebih terperosok dari provinsi manapun di Indonesia. Hingga detik ini masyarakat pekerja masih lebih banyak yang menganggur, dan pengusaha masih terus-terusan tumbang satu persatu. Kesulitan ekonomi di Pulau Bali, bukan masalah sepele.
Dua tahun itu panjang sekali. Nasib kami benar-benar bergantung pada kedatangan teman-teman turis domestik. Lalu aturan wajib PCR sekonyong-konyong muncul dengan alasan yang dibuat-buat. Bubar jalan semua rencana para turis domestik untuk berlibur. Harga PCR masih sangat mahal, dan tidak semua klinik menawarkan hasil 1-2 hari selesai.
Baru saja kami mulai senyum, sekarang siap-siap kelaparan lagi!
Kami mohon:
Hapuskan aturan wajib PCR untuk penerbangan
Atau turunkan harga PCR secara signifikan
Kami ini bukan sekadar angka, kami bernyawa. Pengusaha dan pekerja maskapai penerbangan, hotel, mall, restauran, butik, toko suvenir, pengusaha transportasi, sopir, event organizers, florist, pemusik, agen perjalanan, bahkan warung dan penjual di pasar-pasar terkena dampak yang cukup berat. Ekosistem pariwisata itu besar dan berlapis, semuanya manusia yang punya keluarga, punya anak. Butuh penghasilan.
Kami harus bagaimana lagi? bangkrut sudah, nganggur sudah, kelaparan sudah, bahkan banyak di antara kami yang depresi, rumah tangga berantakan karena faktor ekonomi, atau bahkan bunuh diri.
Kami harus bagaimana lagi? prokes sudah, vaksin sudah, Peduli Lindungi sudah. Selama ini dengan antigen-pun semua berjalan baik-baik saja tanpa kenaikan jumlah kasus. Kenapa tiba-tiba PCR? Sebegitu berlebihankah kami yang hanya ingin bisa bertahan hidup?
Teman-teman di seluruh Indonesia, terutama Jawa-Bali, pelaku industri pariwisata dan ekosistemnya, serta para pecinta Pulau Bali, mari satukan suara!
Mewakili masyarakat Bali, Masyarakat Pariwisata dan Seluruh Rakyat Indonesia yang merindukan logika dan keadilan.
Menuju 10.000 suara.