Info Parenting

Ramai Isu Fatherless, Hitler dan Jutaan Anak di Indonesia Merindukan Sosok Ayah

“Aku menghormati ayahku, tetapi aku mencintai ibuku.”

Featured-Image
Ilustrasi Fatherless. Foto: Haluan.

bakabar.com, JAKARTA – “Aku menghormati ayahku, tetapi aku mencintai ibuku.” Begitulah secuil ungkapan cinta Adolf Hitler kepada ibunya, Klara Hitler, yang dia singgung dalam Mein Kampf (1925).

Begitu Klara berpulang ke pangkuan Tuhan, raut sedih nan mendalam membayang di wajah Hitler. Dia memang merajut hubungan yang teramat dekat dengan sang ibu, sampai-sampai tercetuslah ungkapan itu.

Namun, hubungan Hitler dengan ayahnya, Alois Hitler, tidaklah demikian. Spartacus Education menyebut Alois sebagai sosok yang otoriter, mendominasi, dan kejam. Dia bahkan tidak segan memukul Hitler kecil manakala tak melakukan apa yang diperintahkan.

Kolase Adolf Hitler. Foto: Intisari.
Kolase Adolf Hitler. Foto: Intisari.

Miris, sikap keras sang ayah yang demikian menurun pada Hitler. Dirinya menjadi sosok kejam yang tak gentar menggulingkan Pemerintahan Jerman, termasuk melakukan perluasan wilayah, konsolidasi negara murni ras, dan penghapusan orang Yahudi Eropa.

Indonesia Darurat Fatherless 

Apa yang dialami Hitler, boleh jadi, disebut sebagai fatherless. Ini merupakan kondisi di mana seorang anak tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah, baik secara fisik maupun psikologis. Alois memang menemani putranya sampai dia berusia 13 tahun, tetapi dia tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang Hitler.

Kondisi yang demikian juga dialami jutaan anak Indonesia, bahkan sampai menempati posisi ketiga sebagai negara fatherless terbanyak di dunia. Lantas, sebenarnya apa yang membuat republik ini menyandang predikat tersebut?

Budaya Patriarki Masih Melekat

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, menyebut salah satu faktor yang membuat Indonesia menjadi negara fatherless, ialah budaya patriarki masih mendarah daging.

Budaya ini menempatkan perempuan bertanggung jawab perihal mengurus anak, sementara lelaki bertanggung jawab pada urusan publik. “Yang banyak terjadi, ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” jelasnya, dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu (31/5).

Situs Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bahkan mengungkapkan banyak anggapan yang menilai ayah sudah berjuang keras untuk mencari nafkah. Sehingga, mereka tidak perlu lagi dibebankan untuk mengasuh anak di rumah.

Stigma yang demikian, tak lain dan tak bukan, sudah berkembang sejak zaman dulu. Misalnya saja, terbukti dengan lahirnya sebuah ‘pantangan’ dari nenek dan ibu yang menyuruh agar tak membangunkan ayah saat tengah beristirahat di rumah.

Padahal, sambung Diana, pengasuhan ayah nyatanya tak hanya dimaknai hanya sebagai pencari nafkah saja. Melainkan, peran ayah juga dibutuhkan dalam fase tumbuh kembang seorang anak.

“Faktor orang tua yang terlalu sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang, menjadikan secara teknis lebih sulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang, tak ada komitmen untuk mengganti hari-hari yang hilang,” ujarnya.

Selain itu, seorang anak juga bisa mengalami fatherless lantaran orang tuanya terlalu sibuk. Kesibukan mengais nafkah inilah yang membuat ayah sulit untuk terlibat dalam pengasuhan.

Perceraian orang tua pun berpotensi membuat seorang anak mengalami fatherless. Mereka jadi kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi secara langsung dengan sang ayah, sehingga berkembanglah ketidakpuasan yang mengindikasikan adanya kekosongan figur ayah dalam hidupnya.

Baca Juga: 6 Cara Menumbuhkan Kemandirian Anak ala Orang Jepang

Dampak Fatherless bagi Anak

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menyebut sejumlah dampak fatherless bagi anak. Menurutnya, anak yang mengalami kondisi ini cenderung merasa kurang percaya diri, bahkan menarik diri dari kehidupan sosial.

Hal tersebut juga berkaitan dengan rendahnya kontrol diri sang anak. Kurangnya peran ayah menyebabkan anak memiliki emosi yang tak matang, sehingga tak mampu mengekspresikan maupun mengendalikan emosi.

Ketidakmampuan anak mengendalikan emosi ini akan mendorong cemas dan depresi (perilaku internalisasi) serta kontrol diri rendah, di mana menunjukkan perilaku yang berlebihan sekaligus agresif (eksternalisasi).

Selain itu, mereka juga rentan terlibat penyalahgunaan obat terlarang, melakukan tindak kriminal dan kekerasan, mengalami masalah kesehatan mental, serta munculnya depresi hingga pencapaian nilai akademis yang rendah.

Untuk menghindari berbagai masalah tersebut, kehadiran ayah sangatlah diperlukan. Cara paling sederhana, antara lain meluangkan waktu, mendengarkan anak bercerita, dan memberikan kehangatan melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner