bakabar.com, JAKARTA – Sebuah lukisan menghimpun bentangan histori perjuangan bangsa yang bertajuk 'Penangkapan Pangeran Diponegoro'. Eksistensi guratan warna bergaya romantisme itu pun melahirkan beragam persepsi serta gagasan baru di kemudian hari.
Riwayat karya tersebut digawangi upaya protes Raden Saleh pada 1857, di atas kanvas berukuran 112 cm x 178 cm, ia menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Raut tegas sang pangeran yang menahan amarah terpampang jelas di sana.
Lukisan Remake, Sindiran untuk Raja Belanda
Gambaran yang demikian berbanding terbalik dengan lukisan bertema serupa karya seniman Belanda, Nicolaas Pieneman. Dia, sebelumnya, juga sudah mendokumentasikan penangkapan Pangeran Diponegoro lewat goresan cat minyak. Bedanya, wajah sang pangeran digambarkan lesu dan pasrah.
Seolah tak terima saudara se-Tanah Air dideskripsikan begitu, Raden Saleh pun membuat ulang karya Pieneman. Hasil lukisan itu lantas dia kirimkan kepada Raja Belanda Willem III sebagai bentuk sindiran. Sekaligus, menjadi simbol bahwasanya pandangan Raden Saleh berbeda dengan Pieneman: penuh rasa patriotisme.
Sosok Keturunan Rasulullah di Balik Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro
Nama Raden Saleh sendiri sudah tak asing bagi masyarakat Indonesia. Dirinya merupakan maestro lukisan masa kolonial, yang boleh dibilang tidak ada tandingannya, bahkan sampai detik ini.
Namun, siapa sangka, seniman berdarah Arab-Jawa ini rupanya adalah keturunan Rasulullah. Lebih tepatnya, Raden Saleh merupakan Hadramaut, Yaman dan sosok Sayid, yang dalam khazanah Islam Nusantara merujuk pada keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Lazimnya, seorang sayid menonjolkan sisi sebagai cucu Rasulullah dengan menyandang gelar habib. Namun, lain halnya dengan Raden Saleh, yang justru enggan disebut habib dan lebih memilih gelar Jawa, yakni Raden.
Meski masih satu keturunan dengan Rasulullah, Raden Saleh tak pernah memamerkan sisi itu. Dia malah dihormati dan disegani orang-orang di sekitarnya karena bakat melukis yang kadung mendarah daging dalam dirinya.
Bakat Melukis Membawanya Terbang ke Negeri Kincir Angin
Bakat melukis Raden Saleh, kabarnya, pertama kali disadari oleh A.A.J Payen, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Jawa. Tanpa pikir panjang, Payen mengatur agar Raden Saleh, yang kala itu baru berusia 18 tahun, bisa mengenyam pendidikan dari Pemerintah Belanda.
Ditambah dukungan Reinward yang merupakan ahli seni lukis dan botani perancang Kebun Raya Bogor, Raden Saleh pun berhasil memperoleh kesempatan belajar melukis di Belanda. Dirinya terbang ke Negeri Kincir Angin itu pada tahun 1830.
Di sana, Raden Saleh berguru dengan Cornelius Kruseman, seorang pelukis yang seringkali mendapat pesanan dari Pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan, soal lukisan potret. Dia juga berkesempatan menggelar pameran pertamanya di Den Haag dan Amsterdam, sekitar tahun 1840-an.
Tak berhenti di situ, Raden Saleh bahkan berhasil menjadi pelukis istana di Kerajaan Belanda pada 1844. Sejak saat itu, lukisannya yang bergaya romantisme mulai mencuri perhatian para penikmat seni.
Masyarakat Belanda dibuat terperangah dengan karya pelukis muda dari negeri jajahannya, terheran-heran bagaimana bisa sosoknya mengadopsi watak seni lukis Barat dengan sangat baik.
'Bunuh Diri' karena Lukisannya Diejek
Semasa belajar di negeri orang, Raden Saleh menunjukkan perkembangan pesat. Tak sedikit pelukis muda Belada dibuat was-was dengan kehadirannya. Sampai suatu ketika, mereka menunjukkan lukisan bunga yang sangat mirip dengan aslinya kepada Raden Saleh.
Saking miripnya, lukisan tersebut dihinggapi kumbang dan kupu-kupu sungguhan. Bersamaan dengan momen itu, seketika keluar kalimat ejekan dan cemooh yang ditujukan kepada sang darah biru. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden Saleh menyingkir.
Selang beberapa hari usai kejadian itu, Raden Saleh benar-benar tak menampakkan diri. Hal ini tentu membuat kawan-kawannya merasa cemas, bahkan muncul dugaan bahwa pelukis Indonesia itu berbuat nekat lantaran putus asa.
Mereka lantas bergegas ke rumah Raden Saleh, namun pintunya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling jerit. Sesosok mayat tampak tergeletak di lantai. Mayat tersebut adalah Raden Saleh yang berlumuran darah.
Sontak, suasana menjadi hening. Mereka tak percaya kawannya itu nekat mengakhiri hidupnya hanya karena diejek. Dalam suasana panik, Raden Saleh malah muncul dari balik pintu lain. Tentu saja, hal ini kembali mengagetkan para pelukis muda Belanda.
“Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia,” ujar Raden Saleh sembari tersenyum. Ya, sosok yang tergeletak bersimbah darah tersebut hanyalah lukisan. Hal ini menandakan, sebegitu hebatnya karya sang maestro, yang sampai-sampai mampu mengelabui manusia.
Akhir Kisah Raden Saleh
Pada 23 April 1880 pagi, Raden Saleh jatuh sakit. Tak berselang lama, dirinya dinyatakan meninggal karena pengendapan di dekat jantung yang membuat aliran darahnya terhambat.
Pelukis itu meninggal di Bogor, Jawa Barat. Dia lantas dikebumikan di Jalan Bondongan - kini bernama Jalan Pahlawan - tepat di sebelah makam istrinya, R.A. Danurejo yang merupakan putri dari Kesultanan Mataram.