Nasional

Persoalan Lingkungan Hidup di Balik Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Kaltim

apahabar.com, SAMARINDA – Pro dan kontra mengiringi rencana pemindahan pusat pemerintahan atau ibu kota RI ke…

Featured-Image
WISATA BANJIR – Pemkot Samarinda mengeluarkan status tanggap darurat saat banjir merendam sejumlah permukiman dan fasilitan umum sejak hari ketiga lebaran 2019. Korban terdampak akibat banjir mencapai ribuan jiwa. Foto: Antara

bakabar.com, SAMARINDA – Pro dan kontra mengiringi rencana pemindahan pusat pemerintahan atau ibu kota RI ke Kalimantan Timur.

Selain Kaltim, Kalimantan Tengah juga menjadi kandidat kuat. Membawa rombongan menteri utamanya, Jokowi mengunjungi kedua daerah itu awal Mei lalu.

Kaltim dinilai jadi provinsi yang paling berpotensi, karena kekurangan yang lebih sedikit dibanding Kalteng, di samping persoalan banjir besar dan sumber daya air tanah yang rendah.

Kalteng memiliki kekurangan yang lebih banyak, seperti jauh dari pelabuhan, ketersediaan air tanah yang terbatas, dikelilingi daerah gambut, dan kondisi demografi yang homogen.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bapenas) telah mengirim sinyal kuat rencana pemindahan ibu kota bakal segera dilakukan. 2024, kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, proses pemindahan sudah berjalan menyusul lokasi ibu kota baru ditetapkan. “Nanti presiden sendiri yang mengumumkan,” jelas Bambang, awal pekan tadi.

Soal ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah setuju wilayah Kutai Kartanegara, tepatnya di Bukit Soeharto, sebagai lahan pembangunan pusat pemerintahan RI.

"Kaltim menawarkan ibu kota negara difokuskan di wilayah Kukar," ucap Plt Sekprov Kaltim H Muhammad Sa'bani, Kamis kemarin.

Belum lagi lokasi ibu kota baru ditetapkan oleh pusat, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menolak mentah-mentah rencana Taman Hutan Raya (Tahura) itu dijadikan sebagai alternatif utama.

“Ini sebuah perencanaan yang negatif. Sama sekali tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pemerintah tidak memperhatikan kondisi faktual Tahura yang sudah terlanjur rusak karena aktivitas perkebunan dan pertambangan,” terang Yohana Tiko, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, dalam siaran pers Departemen Advokasi dan Kampanye yang diterima bakabar.com, siang tadi, Sabtu (22/6).

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan SK.577/Menhut-II/2009, Tahura Bukit Soeharto memiliki luas 67.766 hektare.

Memperhatikan kajian Bappenas pembangunan ibu kota baru memerlukan 3.000-4.000 hektare lahan. Sedangkan, merujuk data citra satelit, kata Tiko, ada praktik 44 izin tambang yang dilakukan secara terbuka.

Rencana pemindahan dinilai akan semakin memperparah kondisi Tahura Bukit Soeharto. Dipandang bukan opsi yang tepat, menjadikan Kaltim sebagai ‘Jakarta Baru” merupakan perencanaan yang abai terhadap aspek kelestarian lingkungan.

“Ruang konservasi yang semakin sedikit, akibat praktik buruk industri perkebunan, kehutanan dan pertambangan seharusnya tidak diperparah dengan rencana alih fungsi Tahura, rencana pemindahan" ujar Tiko.

Menurutnya, kondisi demikian otomatis juga menyalahi peruntukan ruang. Perubahan kebijakan guna melegalkan praktik buruk pengelolaan lingkungan hidup jadi awal berubahnya fungsi dan pola ruang.

img

Kunjungan Presiden Jokowi ke Bukit Soeharto, lokasi calon pusat pemerintahan menggantikan Jakarta. Tampak Wagub Kaltim Hadi Mulyadi mendampingi Jokowi. Foto: Humas Pemprov Kaltim

Fungsi konservasi Tahura yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan potensi kawasan serta sebagai wilayah koleksi tumbuhan dan satwa untuk kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi nanti akan berganti menjadi tembok megah.

“Bisa dibayangkan seberapa banyak keanekaragaman hayati yang hilang apabila ibu kota benar dipindahkan ke lokasi ini. Flora dan fauna akan kehilangan rumahnya, pelaku bisnis akan akan mengubahnya menjadi perumahan mewah, mal dan pusat hiburan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan konservasi,” kata Tiko.

Dengan memperhatikan laju deforestasi di Kaltim khususnya Kukar, alih fungsi Tahura berpotensi meningkatkan ancaman bencana ekologis bagi lokasi sekitar ibu kota baru.

"Negara sering merelasikan meningkatnya jumlah bencana ekologis dengan praktik perusakan hutan, perambahan dan lainnya. Alih fungsi tahura untuk pemindahan ibu kota jangan sampai melahirkan citra yang menyamakan pemerintah dengan perambah, perbedaannya hanya satu, negara melakukannya secara legal dengan perubahan-perubahan kebijakan," sebut Tiko.

Istana dan Lubang Tambang

Meminjam catatan Jatam, Tahura Bukit Soeharto telah memiliki 44 izin tambang batu bara. Mereka juga mencatat, terdapat 800 lubang tambang yang belum direklamasi di Kukar.

"Adanya izin tambang dan lubang tambang di Tahura yang dipersiapkan menjadi ibu kota seperti skenario melepaskan tanggung jawab korporasi untuk melakukan reklamasi. Bisa dibayangkan, negara harus takluk dari perusahaan tambang dan mengeluarkan biaya tambahan untuk pembangunan ibu kota," sebut Pradharma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim.

Potensi kerugian negara untuk menutup lubang tambang ini juga disetujui Tiko. Ia menyebut, apabila Presiden atau Bapenas mempunyai rencana menjadikan lubang tambang sebagai lokasi wisata Istana, maka sebaiknya Presiden bisa memilih tempat alternatif lain di Kaltim.

"Samarinda menjadi tempat yang cocok menjadi calon ibu kota negara, apabila Istana hendak mempunyai lokasi wisata dari bekas galian tambang. Pemilihan Samarinda akan jadi preseden yang baik, ketika Presiden merasakan tinggal di tepian danau lubang tambang, ia dapat merasakan praktik buruk industri ekstraktif, seperti yang dirasakan warga selama bertahun-tahun menghirup debu batu bara. Mudah-mudahan nantinya Presiden bisa sadar dan memutuskan untuk berhenti mengeruk bumi Indonesia dari praktik yang sangat berbahaya ini," sebut Tiko.

Walhi dan Jatam Kaltim kompak melihat tidak ada alasan yang rasional untuk memindahkan ibu kota ke Tahura bukit Soeharto.

"Memperhatikan risiko seperti yang kami sampaikan, maka rencana pembangunan ibu kota di Bukit Soeharto harus diubah dan mencari lokasi lain, jangan sampai pemindahan ibu kota malah melahirkan masalah sosial dan lingkungan hidup yang semakin parah bagi Kaltim . Apalagi, lokasi ini sebelumnya tidak direncanakan sama sekali, usulan gubernur Kaltim harus diabaikan oleh pemerintah," sebut Rupang.

img

Tolong semua link terkait ibu kota dimasukkan, tapi naikkan dulu beritanya. Foto-bakabar.com/Zulfikar

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner