bakabar.com, JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan mengenang Kerusuhan 27 Juli 1996 atau biasa dikenal Kudatuli sebagai peristiwa pembungkaman demokrasi oleh kekuasaan Orde Baru kala itu.
Hari ini, PDIP menggelar upacara guna memperingati 25 tahun peristiwa Kudatuli di kantor partai Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Acara tersebut digelar secara virtual.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut bahwa kantor DPP menjadi saksi bagaimana demokrasi dibungkam oleh pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam acara itu, ia meminta para kader Banteng Moncong Putih mengingat para korban dalam peristiwa tersebut.
“Kantor DPP ini menjadi saksi bagaimana demokrasi mencoba dibungkam oleh kekuasaan,” ujar Hasto dalam acara yang disiarkan secara live di YouTube PDI-Perjuangan, dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (27/7).
“Kita tahu begitu banyak korban atas peristiwa tersebut dan ini menjadi momentum demokrasi yang sangat penting di dalam rekam jejak demokrasi Indonesia,” imbuhnya.
Hasto juga menyampaikan pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang ingin membangun Monumen Kudatuli di kantor PDIP. Menurut dia, monumen tersebut akan didirikan agar semua kader PDIP tak lupa sejarah partainya.
Sejumlah kader yang hadir dalam acara peringatan Kudatuli mengenakan pakaian serba hitam. Beberapa petinggi DPP PDIP turut hadir dalam acara tersebut, termasuk Prananda Prabowo dan Puan Maharani. Sedangkan, Megawati hadir secara virtual dari kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
“Tidak hanya mendoakan arwah korban 27 Juli, tetapi juga bagi kemajuan bangsa Indonesia, agar seluruh perjuangan para pahlawan tersebut tidak sia-sia,” kata Hasto
Peristiwa Kudatuli berawal dari intervensi pemerintah rezim Orde Baru terhadap perpecahan di tubuh PDI. Kongres PDI di Surabaya pada 1993 menyatakan Megawati terpilih sebagai ketua umum hingga 1998. Namun, putri Bung Karno itu tidak mendapatkan ‘restu’ pemerintah.
Pada 1996, muncul gerakan menolak PDI pimpinan Megawati. Kelompok ini akhirnya menggelar kongres di Medan dan memilih Soerjadi sebagai ketua umum. Kubu ini mendapat dukungan dari pemerintah Orde Baru.
Dukungan terhadap kubu Megawati justru mengalir deras. Melalui mimbar bebas di depan kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, mahasiswa dan aktivis pro demokrasi menentang Soeharto.
Penyelesaian perselisihan gagal dilakukan. Puncaknya, massa yang menggunakan almamater Kongres Medan menyerang DPP PDI. Mereka melempari batu. Kerusuhan pun terjadi hingga meluas ke Jakarta Timur.
Lima orang meninggal, 149 mengalami luka-luka, dan 23 orang hilang dalam peristiwa tersebut.