bakabar.com, BANJARMASIN – Aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Banjarmasin berbuntut panjang.
Catatan redaksi bakabar.com, sebanyak tiga kali elemen mahasiswa menggelar aksi demontrasi.
Yang pertama pada tanggal 8 Oktober. Kedua 15 Oktober. Dan terakhir 20 Oktober.
Semua demonstrasi berlangsung di Jalan Lambung Mangkurat, Kota Banjarmasin. Objek sasarannya Rumah Banjar, sebutan kantor DPRD Kalsel.
Buntut demonstrasi, polisi memeriksa Ahdiat Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) wilayah Kalimantan Selatan, dan sejumlah mahasiswa lainnya.
Ahdiat yang juga pentolan BEM Universitas Lambung Mangkurat ini menjadi sosok yang pertama dipanggil.
Pemeriksaan berlangsung di ruang Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalsel, Senin (26/10) pagi. Ia dicecar 20 pertanyaan penyidik.
"Ini baru diambil keterangan, terkait dengan kegiatan mereka kemarin," ujar Kabid Humas Polda Kalsel Kombes M Rifai.
Secara keseluruhan, kata dia, ada 16 mahasiswa yang dipanggil penyidik kepolisian. Lantas apa alasannya?
Yang utama, Rifai membeberkan mereka dipanggil untuk diminta keterangan sebagai saksi atas dugaan pelanggaran pasal 218 KUHPidana terkait kerumunan massa.
Pemanggilan, masih kata Rifai, berdasarkan laporan dari kelompok masyarakat atas aksi demo mahasiswa hingga larut malam.
Adapun aksi demonstrasi dimaksud berlangsung pada 15 Oktober lalu. Yang mana berakhir pukul 24.00 Wita. Sempat terjadi perdebatan alot antar dengan polisi sebelum mahasiswa membubarkan diri.
"Terkait dengan adanya komplain dari kelompok masyarakat yang merasa terganggu dan terugikan dengan aktivitas mereka yang sampai mengganggu ketertiban umum," ujarnya.
Menurutnya, aksi demo menentang pengesahan Omnibus Law jilid II yang telah digelar hampir dua pekan lalu itu telah melanggar ketentuan.
Yang mana aksi seharusnya telah usai pada pukul 18.00 waktu setempat, sesuai Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2012.
"Kita butuh waktu, pekerjaan kita kan bukan untuk memeriksa mahasiswa saja. Jadi baru hari ini bisa melaksanakan itu," tuturnya.
Lebih jauh, Rifai menjelaskan bahwa saat ini mahasiswa hanya dijadikan sebagai saksi. Polisi masih akan melakukan pendalaman.
"Kita dalami dulu. Apakah nanti ada unsur pidana ya nanti kita lanjutkan," pungkasnya.
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
Pantauan bakabar.com, Ahdiat dua jam diperiksa di ruangan Ditreskrimum pada pagi tadi.
Namun ia tidak sendiri di ruangan tersebut. Dia ditemani rekannya, Renaldi.
Mereka mengaku dicecar 20 pertanyaan oleh polisi. Kuasa Hukum, Muhammad Pazri yang mendampingi dua mahasiswa tersebut menyebut pertanyaan yang diajukan masih bersifat umum.
"Berawal dari identitas dan sebagainya. Jumlah massa aksi, tanggal dan tempat sampai tidak atau adanya peringatan yang diberikan oleh pihak berwenang," ungkapnya usai keluar dari ruangan Ditreskrimum Polda Kalsel.
Advokat muda dari Borneo Law Firm itu menilai sejumlah pertanyaan yang dicecar kepolisian atas dugaan pelanggaran pasal 218 KUHPidana tersebut masih tidak sesuai.
"Secara umum memang dari pertanyaan-pertanyaan itu masih kabur, substansi yang dituduhkan kepada kawan-kawan mahasiswa," ujarnya.
Sebagai contoh, lanjut dia, peringatan yang diterima mahasiswa saat aksi pada Kamis (15/10) lalu pun tak diterima secara langsung oleh mereka.
"Kalau peringatan itu kan dapat bentuk lisan atau tertulis kan. Lisannya pun kalau dibahasakan di lapangan itu bentuknya hanya sebatas membujuk, baik dari kapolda atau danrem," tutur Pazri.
Lebih jauh, Pazri membeberkan, dari dua mahasiswa yang dipanggil, hanya Ahdiat yang mendapat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
SPDP ini, seperti dikutip dari Antara, telah dikirim kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan tertanggal 22 Oktober 2020 dengan dasar Pasal 218 KUHPidana jo Pasal 11 Undang-Undang No 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum jo Pasal 7 ayat 1 Perkap No 7 tahun 2012.
Soal ini, Pazri pun berharap polisi dapat lebih bijak dan selektif dalam mendalami penyidikan kasus dugaan pelanggaran pasal 218 KUHP tersebut.