bakabar.com, JAKARTA - Presiden Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah pada Selasa, (17/1) mengimbau Kepala Daerah untuk menjamin kebebasan beragama warganya.
Jokowi mengungkap kebebasan beragama telah dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Namun pada kenyataannya penolakan terhadap kelompok agama tertentu masih terjadi.
Penolakan perayaan Natal yang dijalankan di Desa Cilebut Barat, Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sempat gegerkan dunia maya pada Minggu 25 Desember 2022 lalu.
Baca Juga: Kemenparekraf Kembangkan Rumah Ibadah sebagai Tempat Wisata
Berdasarkan data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) menunjukkan, sedikitnya telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade atau 15 tahun terakhir .
Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama.
Baca Juga: Polemik Pendirian Rumah Ibadah Cilegon, MUI: Ulama Sepakat Tak Boleh Halangi
Direktur Peneliti Setara Institute, Halili Hasan menjelaskan jika situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia lebih serius dari apa yang disampaikan oleh Presiden, terutama dari sisi intensitas dan skalanya. Namun ia juga mengapresiasi tindakan Presiden.
“Dalam catatan SETARA Institute, pernyataan dan arahan Presiden dalam Rakornas tersebut salah satu pesan terkuat yang disampaikan secara terbuka oleh Presiden,” tuturnya pada Rabu (18/1/2023).
“Sebab secara spesifik menggarisbawahi persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah sebagai salah satu persoalan utama pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, bukan hanya secara umum soal toleransi dan kebhinekaan saja,” imbuhnya.
Baca Juga: PBNU Tegaskan Tidak Boleh Kampanye di Tempat Ibadah, Sindir Anies?
Namun pernyataan Presiden ini layaknya harus diiringi dengan langkah progresif oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri seperti menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) atau yang biasa dikenal dengan SKB dua Menteri.
Aturan-aturan diskriminatif tersebut dinilai menjadi pemicu bagi terjadinya penolakan dan pembatasan hak seluruh agama khususnya kelompok minoritas untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah, seperti yang diutarakan oleh Presiden.
Misalnya, syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat nyata-nyata memberikan hambatan serius bagi terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh Pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk.
Peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi mestinya hanya mengatur untuk memfasilitasi hak warga negara yang dijamin oleh Konstitusi Negara.