bakabar.com, JAKARTA – Truk kayu, gangsing kayu, dan pluit siulan bambu barangkali menjadi barang yang sudah cukup langka di jaman sekarang. Seperti halnya bisnis permainan tradisional sedang bertahan ditengah gempuran mainan impor yang membanjiri pasar dalam negeri.
Pemilik Usaha Mainan Kayu Tradisional Ceria Anak Hidayat menjelaskan untuk bisa bertahan lama dalam bisnis permainan tradsional, diperlukan kemampuan untuk juga bisa membuat sendiri mainan tersebut.
“Di samping untuk melestarikan mainan tradisional itu sendiri, paling tidak itu juga bisa sebagai bentuk edukasi untuk anak Indonesia,” ujarnya kepada bakabar.com di Toko Ceria Anak Pesanggarahan Jakarta Selatan, Rabu (26/10).
Hidayat menerangkan banyak nilai edukasi yang bisa didapatkan anak-anak dalam sebuah mainan tradisional. Di antaranya mulai dari cara pembuatan sampai cara memainkan permainan itu sendiri.
“Mainan tradisional itu harus dilestarikan dan jangan sampai kalah sama mainan impor asal China,” ujarnya.
Baca Juga: Pelaku Usaha Mikro Lebih Nyaman Berjualan Konvensional di Tengah Ekosistem Digitalisasi UMKM
Saat ini Toko Ceria Anak menjual beberapa permainan tradisional seperti truk kayu, gangsing kayu, dan pluit bambu dan masih banyak lainnya. Menurutnya semua jenis mainan itu dibuat langsung oleh dirinya dengan menggunakan semua bahan yang memang bisa dimanfaatkan.
Agar bisa mempertahankan usaha mainan tradisional ini bukan sesuatu yang mudah. Pasalnya, terkadang harga dari mainan tradisional kurang sesuai dengan keterampilan para perajinnya.
“Jadi kita betul betul harus efektif untuk menentukan siapa target pasarnya, mainan apa yang harus dibikin sehingga secara produk tetap disukai namun harga juga bisa terjangkau,” pungkasnya.
Harga mainan tradisional yang dijual berkisar mulai dari Rp50.000 sampai Rp60.000 untuk kelas menengah ke bawah. Adapun kelas menengah ke atas harga mulai dari Rp500.000 sampai Rp600.000.
Produk untuk kualitas menengah ke bawah biasanya ditujukan untuk masyarakat yang memang untuk edukasi, punya ciri khas mainan tradisional namun harga tetap terjangkau.
Berbeda dengan kelas menengah ke atas yang bentuknya sudah berupa miniatur untuk pajangan atau sekedar koleksi karena secara konsumen sudah lebih dewasa.
“Kalau bahan sebetulnya sama saja, hanya proses untuk menjadikan barang itu lebih bagus dan mahal itu beda dengan proses yang mengejar di kelas menengah ke bawah,” imbuhnya.
Berita selengkapnya baca halaman selanjutnya...
Menurutnya sebelum adanya pandemi Covid-19, dirinya memiliki 4 toko yang omset dari masing-masing toko dalam 1 bulan dari penjualan mainan tradisional bisa mencapai Rp10 juta sampai Rp12 juta dari 1 toko.
Namun ketika pandemi otomatis Hidayat harus menutup 2 tokonya dan melakukan pengurangan karyawan. Hal itu dilakukan untuk tetap bisa bertahan dalam kondisi sulit tersebut.
“Saat ini kondisi usaha masih sedang merangkak naik jadi untuk omset masih sekitar Rp6 juta sampai Rp8 juta. Dengan untung bersih bisa sekitar Rp3 sampai Rp4 juta untuk 1 toko,” paparnya.
Dengan keuntungan bersih tersebut, ia mengaku sudah sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan. Maka untuk bisa tetap bertahan, Hidayat mengambil semua proyek dari luar seperti bazar sekolah dan acara kebudayaan yang mana dari proyek itulah omset dari usaha mainan ini bisa jauh lebih tinggi.
Selain mengandalkan proyek, menurutnya kunci untuk tetap bisa memepertahankan usaha adalah dengan bisa beradaptasi dengan perubahan dan melakukan inovasi.
Dirinya memberikan contoh ketika anak sekarang meminati truk oleng, maka permainan tradisional harus bisa mengikuti, karena hanya permainan tradisonal yang bisa memiliki itu.
“Makanya perkembangan juga kita alamin. Mulai dari bikin pesawat kayu, truk, bis, bajai itu mulai dari desain zaman dulu sampai sekarang kita ngikutin zaman,” tutupnya.