bakabar.com, JAKARTA – Kasus Mario Dandy belum sepenuhnya ‘mengering’ dari atensi publik. Tak sampai masalah itu tuntas, kini malah kembali terkuak penganiayaan yang juga dilakukan anak petinggi, Aditya Hasibuan.A
Aditya adalah anak dari perwira polisi menengah, AKBP Achiruddin Hasibuan. Pada Desember 2022 lalu, dia menganiaya seorang mahasiswa bernama Ken Admiral tanpa ampun: memukul pelipis, menendang dan menginjak tubuh, bahkan membenturkan kepalanya hingga berdarah.
Mirisnya lagi, kelakuan Aditya yang tak berperikemanusiaan itu disaksikan langsung oleh sang ayah. Ya, perwira polisi yang mestinya mengayomi warga sipil, malah mendukung si buah hati melakukan kekerasan.
Layaknya Mario Dandy, beranjak dari kasus penganiayaan itu, gaya hidup keluarga AKBP Achiruddin pun menjadi sorotan. Lagi-lagi, keduanya punya kesamaan: suka pamer harta kekayaan.
Arogansi anak para petinggi yang demikian boleh jadi mengingatkan kembali dengan sarkasme Warkop DKI. “Memang begitu anak orang kaya, lagunya suka tengil. Kayak duit bapaknya halal aja,” begitu sepenggal dialog ikonik dalam film Gengsi Dong.
Demi Sebuah Ego dan Harga Diri
Arogansi ialah sebuah sikap yang menyatakan diri lebih baik ketimbang siapa pun. Arogan, sebutan untuk orang yang punya sifat ini, cenderung memiliki rasa superioritas yang lantas dimanifestasikan dalam bentuk merendahkan orang lain.
Kondisi, lingkungan, ataupun pemahaman menjadi alasan seseorang untuk bertindak arogan. Terkait kasus arogansi anak pejabat, ada beberapa hal yang menjadi kemungkinan alasan di balik sikap tersebut.
Salah satunya, sebagai upaya mempertahankan diri. Hanan Parvez dalam Psychology of an Arrogant (2014) menyebut alasan di balik arogansi dalam mempertahankan diri ialah karena berusaha melindungi ego dan harga diri.
Kemungkinan tersebut pun diamini oleh psikolog sekaligus Direktur Humanika Psychology, Aida Malikha. Menurutnya, arogansi dan kebiasaan pamer harta dilakukan anak para petinggi karena kurangnya kepercayaan diri dan kompetensi diri.
“Anak pejabat ingin menunjukkan jati dirinya dengan cara yang lain. Karena dia kurang kompeten, salah satunya dengan memamerkan gaya hidup mewahnya di media sosial,” ujarnya, dikutip dari kumparan, Jumat (28/4).
Memang tak bisa dipungkiri, anak pejabat cenderung memiliki tuntutan yang besar, baik dari keluarga maupun lingkungan sosial. Tindakannya bakal dilabeli dengan penghakiman ‘anak pejabat harus lebih sukses dari orang tuanya’ dan berbagai stigma serupa lainnya.
Ekspektasi itulah yang sejatinya membuat anak berada dalam kondisi tertekan. Mereka jadi merasa punya tanggungan besar untuk mewujudkan stigma tersebut, hingga menghalalkan segala cara – salah satunya, bertindak arogan.
Berujung Hasilkan Sindrom Peter Pan
Tekanan yang demikian tak jarang pula membuat anak para petinggi “ingin kabur dari tanggung jawab.” Bahkan mereka sampai berharap kembali ke masa kanak-kanak, di mana tidak memiliki beban hidup.
Perasaan itulah yang lantas berpotensi membuat mereka mengidap sindrom Peter Pan. Ini merupakan kondisi di mana seseorang yang sudah dewasa, tapi masih berperilaku seperti anak-anak.
Dosen Filsafat di Miami University, Berit Brogaard, menjelaskan ada beberapa ciri khas yang menandakan seseorang memiliki sindrom Peter Pan. Salah satunya, selalu bergantung pada orang lain.
Mereka senantiasa mengharapkan untuk selalu dilindungi dan dituruti semua permintaannya. Serta, memiliki rasa takut dan memiliki kekhawatiran yang berlebihan saat melakukan segala sesuatu sendiri.
Pengidap sindrom Peter Pan juga kurang bertanggung jawab dalam pekerjaan atau perbuatan yang dilakukan. Mereka selalu mengutamakan kepentingan pribadi, utamanya untuk kepuasan dan kebaikan diri sendiri.
Untuk menghindari sindrom tersebut, orang tua sepatutnya menerapkan pola asuh yang tepat. Salah satunya, dengan membiarkan anak banyak mengeksplor kemampuannya.
Biarkan mereka mencoba banyak hal dalam hidupnya dan merasakan sendiri konsekuensinya. Cara ini bisa membantu anak agar tak bergantung pada orang lain, serta lebih siap menerima tantangan di masa mendatang.