bakabar.com, BANJARBARU – Target 12 milyar pendapatan dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor Alat Berat (PKB-AB) oleh Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) Kalimantan Selatan (Kalsel) sulit terealisasi dikarenakan banyak perusahaan yang menolak membayar.
Kabid Pendapatan Pajak Daerah Bakeuda Kalsel, Rustamaji, Kamis (20/6/2019) mengatakan, banyak perusahaan yang memiliki alat berat menunggak pajak atau bahkan enggan membayar pajak alat berat.
Hal itu, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 15/PUU-XV/2017 pada 10 Oktober 2017 lalu yang memutuskan agar semua definisi kendaraan bermotor disinkronkan dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dengan tidak lagi memasukkan alat berat dalam definisi kendaraan bermotor, seperti halnya definisi kendaraan bermotor dalam UU Lalu Lintas.
Meskipun dengan adanya putusan MK No. 15/PUU-XV/2017 tersebut, lanjutnya, maka UU No. 28/2009 tentang PDRD, khususnya berkenaan dengan pengenaan pajak terhadap alat berat namun diberi jangka waktu 3 tahun untuk merevisi UU no 28/2009 tersebut sehingga dalam jangka waktu 3 tahun itu pajak alat berat masih bisa dipungut.
“Meskipun MK mengabulkan permohonan pemohon, tetapi pajaknya masih bisa di pungut sampai tahun 2020,” kata Rustamaji kepadabakabar.com.
Adapun, dasar hukum yang akan digunakan untuk pengenaan pajak dalam rentang 3 tahun tersebut atau sampai tahun 2020 ini yaitu UU No. 28/2009.
Lebih jauh Rustamaji mengatakan dalam waktu 3 tahun setelah putusan MK, sudah ada pembicaraan oleh pemerintah pusat dengan perusahaan terkait hanya hasilnya tidak signifikan.
“Iya sudah diupayakan hal itu, sudah ada pertemuan juga tapi hasilnya tidak signifikan, perusahaan tetap tidak mau membayar pajak alat berat dengan dalih putusan MK tersebut,” ucapnya.
Dijelaskannya, pendapatan pajak alat berat yang ditargetkan dari tahun 2015 – 2019 sebesar 12 milyar tidak terealisasi, karena sampai hari ini pendapatan pajak alat berat belum sampai atau kurang dari 10 persen. Target yang tadinya 12 milyar diturunkan menjadi 6 milyar atau turun menjadi 50% pada tahun 2020.
“Hampir semuanya enggan membayar pajak, kami sudah menagih tapi ya mereka selalu berdalih itu (putusan MK) jadi jika UU no 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak segera direvisi sebelum jangka waktu habis, ya sudah tidak ada lagi pungutan pajak alat berat,” sambung Rustamaji.
Pihaknya mengaku kesulitan dalam penagihan pajak alat berat kepada perusahaan.
Adapun beberapa nama perusahaan yang belum membayarkan pajak alat beratnya setelah putusan MK, seperti ADARO, PAMA, CONCH, SIS dan lain-lain.
Menurut data pihaknya, di Kotabaru pada tahun 2017 alat berat unit baru tercatat sebanyak 99 unit, dan 246 unit lama, dengan perolehan pembayaran pajak sebanyak Rp 780.767.500 dari unit lama,terakhir pembayaran pajak alat berat di Kotabaru pada 2017 dan tidak ada pemasukan pembayaran pajak setelah itu.
Sama hal nya dengan di Pelaihari alat berat sebanyak 196 unit dengan perolehan pembayaran pajak sebanyak Rp 824.382.750 pada 2017 dan tidak ada pemasukan pembayaran pajak setelah itu.
Namun berbeda dengan di Tanjung dan Kandangan yang pembayaran pajak alat berat terakhirnya pada 2016, di Tanjung dengan total 578 unit dan perolehan pajak sebesar RP 2.621.018.999 dan Kandangan dengan perolehan pajak sebesar Rp 37.626.775, dan tidak ada pembayaran pajak lagi pada tahun selanjutnya.
Untuk di Paringin, pembayaran pajak terakhir tercatat pada tahun 2015 dengan jumlah 357 unit dan perolehan pembayaran pajak sebanyak Rp 1.824.842.407.
“Iya untuk data sekarang masih seperti ini, karena kan ada alat berat yang aktif dan tidak aktif lagi, untuk menyeluruhnya masih dalam proses Rekonsiliasi,” tutup Rustamaji.
Baca Juga: Pembatasan Produksi Batubara IUP, Isran Minta Pengusaha Tak Khawatir
Baca Juga: Ini Harapan Komisi III DPRD Kalsel untuk Perusahaan Tambang
Reporter: Ahc06Editor: Aprianoor