bakabar.com, BANJARMASIN - ARR harus berhadapan dengan hukum. Siswa 15 tahun di salah satu SMA Negeri Banjarmasin itu menusuk rekan satu sekolahnya dengan senjata tajam, Senin (31/8) lalu.
Orang tua korban, MRN, Faisal Aqli, membuat laporan polisi di hari kejadian. Aqli ingin ARR dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Kini kasusnya ini masih bergulir di Polresta Banjarmasin.
Lantas bagaimana dengan penerapan hukum dalam kasus ini. Dapatkah ARR dijerat pasal pembunuhan berencana?
Pertanyaan ini disodorkan kepada Masrudi Muchtar. Dia adalah dosen ahli hukum pidana dari Universitas Achmad Yani (Uvaya) Banjarmasin.
Muchtar bilang, yang perlu diingat ini adalah kasus anak. Artinya penerapan hukumnya harus menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Keinginan orang tua korban, agar ARR dijerat Pasal 340 KUHP terlalu berlebihan. Itu terlalu berat. Sebab, ancaman hukumannya adalah pidana mati, seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara.
"Ini berat sekali," kata dosen jebolan Magister Universitas Brawijaya ini.
Baca Juga: Buntut Penusukan di SMA Banjarmasin, Sekolah di Kalsel Bakal Dipasang Detektor
Baca Juga: Pemasangan Metal Detector di Sekolah: Efektif atau Mubazir?
Dalam undang-undang peradilan anak ujar Muchtar, anak itu tidak boleh dijatuhi hukuman mati, atau pidana seumur hidup.
Terbaru, polisi telah menetapkan ARR sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH). Polisi juga berencana melakukan upaya penanganan hukum secara diversi.
Menurut Muchtar, langkah yang telah diambil pihak kepolisian dalam menangani kasus ini sudah tepat.
Sebab pendekatan keadilan restoratif merupakan hal prioritas dalam undang-undang SPPA.
"Pada prinsipnya poin penting dalam undang-undang sistem peradilan anak diprioritaskan pendekatan keadilan restoratif. Jadi diupayakan ini diversi," jelasnya.
Diversi sendiri adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Pidana terhadap anak banyak selain penjara. Muchtar menyebutkan beberapa mencontohnya. Misal pidana peringatan, hingga pidana dengan syarat.
"Dalam kasus anak pidana penjara ini alternatif terakhir Jadi poinnya di sini sedapat mungkin diversi," kata pengamat hukum pidana ini.
Selain Undang-undang SPPA, juga ada undang-undang perlindungan anak. Artinya kata Muchtar, yang perlu dipahami aparat penegak hukum ARR juga menjadi korban.
"Maka ada ketentuan Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak," ucapnya.
Di situ ada larangan, setiap orang dilarang melakukan tindak pidana kekerasan hingga menyebabkan luka berat.
Pada pasal 80 ayat 2 dalam undang-undang tersebut ancaman hukumannya 5 tahun penjara saja. Artinya diversi atau penyelesaian bukan dalam konteks peradilan, sedekat mungkin ada di mediasi penal.
"Kalau aparat penegak hukum mengganggu pendekatan Undang-undang perlindungan anak karena korbannya anak, potensi diversi bisa saja," imbuhnya.
Muchtar bilang, bahwa ini lagi-lagi ke soal kearifan dari penegak hukum untuk melihat kasus ini. Sebab anak yang melakukan tindak pidana ini tentu juga memiliki masa depan.
"Walaupun dia bersalah. Ini tidak bisa dilihat hanya dengan kacamata hukum saja. Harus dilihat jernih melalui pendidikan psikiater," harapnya.
"Yang perlu ditelusuri mengapa dia bisa melakukan perbuatan seperti itu. Apakah ada sistem sosial yang salah. Atau mungkin diungkap melalui pendekatan psikiater," pungkasnya.
Baca Juga: Bapas Banjarmasin Siapkan Tim Dampingi ARR Pelaku Penusukan di Sekolah
Baca Juga: Buntut Insiden Penusukan Siswa SMA di Banjarmasin, Pihak Sekolah Buka Suara