bakabar.com, RANTAU – Pengadilan Negeri (PN) Rantau mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan dua buruh harian lepas Roni dan Umar. Warga Tabalong ini sempat ditahan oleh Polres Tapin dalam perkara dugaan penjualan tanah uruk ilegal.
Putusan perkara Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Rta tersebut dibacakan hakim tunggal Shelly Yulianti, Kamis (19/6) lalu.
Humas PN Rantau, Dwi Army Okik Arissandi, membeberkan lima poin penting dalam amar putusan yang memenangkan sebagian permohonan pemohon.
"Poin pertama adalah permohonan dikabulkan untuk sebagian. Kemudian poin kedua menyatakan tindakan penangkapan dan penahanan oleh termohon tidak sah. Kemudian poin ketiga, hakim memerintahkan pembebasan para pemohon segera setelah putusan dibacakan," jelasnya.
Adapun poin keempat dalam putusan menyebutkan bahwa hak-hak pemohon, termasuk hak atas pendidikan, kehormatan, dan kedudukan sosial harus dipulihkan. Sementara biaya perkara dinyatakan nihil, dan selebihnya permohonan ditolak.
Meskipun demikian, status tersangka Roni dan Umar tetap dinyatakan sah. Hakim tidak mengabulkan permohonan pembatalan status tersangka, karena sidang praperadilan hanya menilai dari aspek formil, bukan materi perkara.
"Putusan ini hanya menyentuh prosedur penangkapan dan penahanan, bukan menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Jadi status tersangka mereka tetap sah," tukas Dwi.

Sebelum putusan dibacakan, Roni dan Umar telah lebih dulu dibebaskan dari tahanan Polres Tapin. Penyebabnya masa penahanan mereka berakhir dan berkas perkara belum dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan Negeri Tapin. Meski telah bebas dari tahanan, mereka masih diwajibkan lapor melalui kuasa hukum.
Penangkapan terhadap Roni dan Umar yang dilakukan 14 April 2025 dinilai tidak sah, karena dokumen penangkapan dan penahanan baru diterbitkan dua hari kemudian atau 16 April 2025.
Kasus tersebut menjadi sorotan, karena merupakan perkara praperadilan pertama yang dikabulkan sebagian di Tapin dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir kali gugatan praperadilan yang dikabulkan terjadi pertengahan 2017.
Dwi Army berharap putusan tersebut menjadi pembelajaran penting, baik untuk aparat penegak hukum maupun masyarakat.
"Masyarakat perlu tahu bahwa terdapat mekanisme hukum yang bisa digunakan kalau merasa hak-hak dilanggar. Kedepan kami juga mendorong peningkatan penyuluhan hukum agar warga lebih sadar hak-hak pribadi dalam proses hukum," tutup Dwi.