Kalsel

Pemotongan Hukuman Jaksa Pinangki “Kemunduran Pemberantasan Korupsi”

apahabar.com, JAKARTA – Pemotongan hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi kemunduran pemberantasan korupsi. Pinangki terbukti melakukan…

Featured-Image
Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu suap dari terpidana kasus “cessie” Bank Bali Djoko Tjandra, pencucian uang, dan permufakatan jahat. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA – Pemotongan hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi kemunduran pemberantasan korupsi. Pinangki terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus. Yaitu, suap dari terpidana kasus “cessie” Bank Bali Djoko Tjandra, pencucian uang, hingga permufakatan jahat.

“Vonis Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari menunjukkan adanya kemunduran dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia,” kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago, Selasa (15/6) malam, dilansir Antara.

Seharusnya, kata Santiago, Majelis Hakim PT memahami pelaku korupsi dari kalangan penegak hukum dan pejabat pemerintah perlu mendapat hukuman maksimal agar ada efek jera.

“(Pelaku, red) harus dihukum setinggi-tingginya agar ada efek jera kepada para penegak hukum atau pejabat di Indonesia,” tuturnya.

Putusan di PT harusnya paling tidak sama dengan di Tipikor mengingat Pinangki adalah seorang jaksa.

“Mereka mengemban amanah untuk jadi contoh/teladan bagi masyarakat,” sambung ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur itu.

Santiago berharap putusan tersebut bisa menjadi bahan pembelajaran dan koreksi bagi hakim lain.

“Saya juga mendorong Komisi Yudisial (KY) menjalankan peran dan fungsi pengawasannya terhadap kinerja hakim. KY harus mengawasi dan mempertanyakan putusan tersebut,” kata Faisal.

Kejanggalan Putusan

Akademisi Fakultas Hukum dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, menilai hakim lupa jika Pinangki adalah aparat penegak hukum.

“Kalau aparat penegak hukum melakukan pidana, itu selalu diperberat karena ketentuan KUHP,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Unand tersebut melihat ada kejanggalan dari putusan hakim yang malah meringankan hukuman jaksa Pinangki dengan mempertimbangkan status perempuan.

Menurut Feri alasan-alasan yang disampaikan hakim tersebut seolah-olah dicari-cari untuk memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun.

Termasuk pertimbangan status Pinangki sebagai seorang ibu yang memiliki anak berusia empat tahun.

“Ini juga tidak linier dengan statusnya sebagai aparat penegak hukum,” ujarnya.

Feri kuatir jika alasan status sebagai seorang ibu dijadikan pertimbangan maka berpotensi memuluskan kejahatan-kejahatan korupsi di kemudian hari.

Oleh sebab itu, yang perlu dilihat dari kasus Pinangki ialah kekuatan atau kewenangan yang dimilikinya yakni sebagai seorang jaksa dan tidak semata-mata hanya karena status perempuan dan seorang ibu.

“Karena itu akan menyampingkan nilai penting atau substansial dari perkara ini,” ujarnya.

Dari berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ada semacam tren pengadilan menjadi jalan pintas untuk mengurangi masa hukuman koruptor.

Sehingga ada semacam nuansa peradilan tidak lagi berpihak kepada pemberantasan korupsi dan membenahi aparat hukum yang menyimpang.

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri mengatakan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah mencederai rasa keadilan masyarakat.

“Putusan ini sangat mencederai rasa keadilan,” kata Bivitri.

Sebelumnya, PT DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan,” demikian dalam laman putusan Mahkamah Agung, Senin (15/6).

Putusan itu diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik pada tanggal 14 Juni 2021.

“Menyatakan terdakwa Pinangki Sirna Malasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ke satu subsider dan pencucian uang sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ketiga subsider,” demikian tertulis.

Terdapat sejumlah pertimbangan majelis hakim sehingga mengurangi lebih dari separuh masa hukuman Pinangki tersebu:

“Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa, oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik. Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia empat tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan,” kata hakim.

Pertimbangan lain adalah Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.

“Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini. Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” tambah hakim.

Sebelumnya JPU Kejaksaan Agung menuntut Pinangki divonis selama empat tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Namun majelis hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Februari 2021 menjatuhkan vonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Pinangki Sirna Malasari karena terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra.

Dalam perkara ini, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu pertama terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus “cessie” Bank Bali Djoko Tjandra.

Uang itu diberikan dengan tujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana dua tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.

Pinangki ikut menyusun “action plan” berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial “BR” yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan “HA” yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA dengan biaya 10 juta dolar AS namun baru diberikan 500 ribu dolar AS sebagai uang muka.

Perbuatan kedua, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036.

Uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra. Bentuk pencucian uang antara lain dengan membeli mobil BMW X5 warna biru, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di AS, pembayaran dokter “home care”, pembayaran sewa apartemen, dan pembayaran kartu kredit.

Perbuatan ketiga adalah Pinangki melakukan permufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam “action plan”.



Komentar
Banner
Banner