Lindungi Tekstil Dalam Negeri

Pemerintah Berencana Perketat Impor Produk Tekstil Ke Indonesia

Pemerintah berencana memperketat arus barang impor untuk seluruh produk tektil yang masuk ke pasar domestik.

Featured-Image
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (kiri) dan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (Kanan) dalam konferensi pers. Foto:apahabar.com/ Gabid Hanafie

bakabar.com, JAKARTA –Pemerintah berencana memperketat arus barang impor untuk seluruh produk tektil yang akan masuk ke pasar domestik.

Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki mengungkapkan tujuan dari pengetatan tersebut adalah untuk melindungi produsen tekstil dalam negeri.

“Kita lakukan restriksi atas masuknya produk-produk impor. Kerena produk dalam negeri atau UMKM yang memang masuk ke pasar lokal saat ini terus terganggu dengan derasnya produk impor,” ujarnya dalam konferesi pers di Gedung Kemenkop UKM, Jakarta Selatan, Senin (27/3).

Pengetatan tersebut dilakukan seiring tingginya porsi produk impor yang beredar di pasaran. Berdasarkan data Kemenkop UKM terdapat sedikitnya 40 persen produk pakaian yang beredar di pasar domestik merupakan barang impor legal dan ilegal atau unrecorded report.

Baca Juga: Tindak Impor Pakaian Ilegal, Teten: Industri Tekstil Kita Pernah Jaya

“Pengetatan produk impor oleh negara itu hal biasa. Produk pisang kita juga sering dihambat saat melakukan ekspor sampai harus punya 21 sertifikat baru bisa masuk. Bahkan 6 di antaranya harus diperbarui setiap 6 bulan,” jelasnya.

Pemerintah berencana untuk melindungi peredaran produk dalam negeri dengan meningkatkan pembeliannya di dalam negeri. Bahkan, produk UMKM disiapkan untuk dapat mengusai pasar domestik.

Selain itu, pemerintah juga mewajibkan untuk alokasi 40 persen belanja barang dan jasa oleh semua kementerian atau lembaga haruslah berasal dari UMK dan Koperasi.

Termasuk pakaian dan alas kaki serta belanja BUMN melalui Pasar Digital UMKM (PaDi) BUMN. Imbas dari kewajiban tersebut PaDi BUMN mencatatkan pertumbuhan nilai transaksi tahun 2022 sebesar Rp 22 triliun.

Editor
Komentar
Banner
Banner