bakabar.com, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Eddie Hariej mengungkapkan urgensi dari pasal penyerangan harkat dan Martabat Presiden dan wakilnya.
Eddie menyebut harkat dan Martabat negara termasuk ke dalam fungsi hukum pidana. Karenanya hal itu menjadi kepentingan negara untuk dilindungi.
"Dalam perspektif pidana, harkat dan martabat negara masuk ke dalam kepentingan negara yang harus dilindungi," katanya dalam webinar LP3ES, dikutip Senin (12/12).
Dirinya juga mengeklaim bahwa aturan iru tidak akan menimbulkan kesalahpahaman dalam menafsirkan pasal pidana penyerangan harkat dan martabat Presiden dan wakilnya. Termasuk penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga karena dalam KUHP sudah dijelaskan secara rinci.
Baca Juga: Hina Presiden dalam KUHP Dipenjara 3 Tahun, Pakar Hukum: Itu Berlebihan
Sebagaimana diketahui, perihal pasal penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP.
"Dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerangan harkat dan martabat presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara kami memberikan penjelasan sedetail mungkin yang jadi pembeda antara penghinaan dan kritik dan penjelasan di dalam kedua pasal tersebut," jelasnya.
Menurutnya, penjelasan akan perbedaan penghinaan dan kritik terkait pasal-pasal itu berkiblat kepada UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Karenanya, ia menjamin dengan penjelasan itu tidak akan muncul penafsiran lain atau multi tafsir terhadap pasal itu.
"Disitu ditegaskan bahwa dalam satu negara demokrasi kritik itu diperlukan sebagai kontrol sosial, lalu pasal yang dikhawatirkan itu tidak akan mengalami multitafsir, karena sudah kami jelaskan sedetail mungkin," tegas Eddy.
Alasan Pasal Dianggap Kontroversial
Banyak pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam KUHP yang telah disahkan pada minggu lalu itu. Salah satunya adalah penyerangan harkat dan Martabat Presiden dan wakilnya.
Sebab, merujuk dalam draf RKUHP tahun 2019, perbuatan yang dianggap menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden bisa diancam hukuman penjara maksimal 3,5 tahun.
Lalu, usai pasal itu menuai kritik dan imbas unjuk rasa besar-besaran dan ditolak. Kini pasal itu kembali disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Alasan Pemerintah Sahkan Pasal 218 Hingga 220 KUHP
Mengenai pasal itu, Pemerintah menjelaskan bahwa perbuatan penyerangan terhadap harkat dan Martabat Presiden masuk ke dalam delik aduan.
Wamenkumham juga mengeklaim jika tidak ada maksud pemerintah untuk membangkitkan kembali pasal penghinaan presiden.
Dirinya memastikan pasal yang ada di RKUHP berbeda dengan pasal yang dicabut oleh MK.
"Kami tidak bermaksud membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh MK, justru berbeda. Kalau yang dimatikan MK itu adalah delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP ini adalah delik aduan," pungkasnya.