Religi

“Parukunan Jamaluddin” Ternyata Ditulis Ulama Perempuan Berdarah Banjar-Bugis

apahabar.com, BANJARMASIN – Kitab “Parukunan Melayu” atau yang juga dikenal dengan Kitab “Parukunan Jamaluddin” ternyata ditulis…

Featured-Image
Cover Kitab Parukunan. Foto-abusyahmin.blogspot.com

bakabar.com, BANJARMASIN - Kitab "Parukunan Melayu" atau yang juga dikenal dengan Kitab "Parukunan Jamaluddin" ternyata ditulis oleh ulama dari kalangan perempuan. Nama beliau adalah Syekhah Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis.

Kitab Parukunan merupakan kitab populer dalam kehidupan masyarakat Melayu. Bagi masyarakat Banjar, Kitab Perukunan ini tidak hanya dipelajari, akan tetapi juga menjadi rujukanutama dalam melaksanakan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bahasa Banjar, "parukunan" bermakna uraian dasartentang perkara-perkara yang diwajibkan oleh agama yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, mencakup rukun Islam (fiqih), rukun iman (tauhid), dan rukun ihsan (tasawuf).

Salah satu kitab perukunan yang terkenal adalah "Parukunan Melayu" yang juga dikenal dengan "Parukunan Jamaluddin". Kitab ini pertama kali diterbitkan oleh Mathba'ah al Miriyah al Kainah, Makkah, pada tahun 1315 H/1897 M. Kemudian dicetak ulang di berbagai negara, seperti Singapura (1318 H), India (Bombay), Thailand, Indonesia, dan Malaysia.

Baca Juga: Kapal Datu Kelampayan Hampir Tenggelam, Ternyata Jin Ini Pelakunya

Meski tampak sederhana, kitab ini juga dipelajari kaum muslimin di Malaysia, Philipina, Vietnam, Kamboja, dan Myammar.

Kitab Parukunan tersebut, menurut peneliti asal Belanda, Prof Martin Van Bruinessen dalam tulisannya 'Kitab kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning'; "Pada umumnya tutur lisan masyarakat Banjar menyatakan bahwa kitab 'Perukunan Jamaluddin' ini merupakan karya Syekhah Fatimah, cucu Syekh Arsyad Al Banjari dan anak saudara perempuan Syekh Jamaluddin sendiri."

Lantas mengapa kitab parukunan itu diatas-namakan Jamaluddin? Menurut Prof Martin, identitas pengarang sengaja disembunyikan karena anggapan pada masa itu, menulis kitab adalah "pekerjaan" laki-laki.

Lebih jauh, demikian sambung Guru Besar Studi Islam dari Belanda ini, kalau sejarah digali, tidak mustahil kita akan menemui perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab, namun sumbangan mereka ternyata diingkari dan diboikot.

Baca Juga:Pemimpin Pemberontak: Aku Menyerah dengan Tuan Guru Zainal Ilmi

Sumber: abusyahmin.blogspot.com
Editor: Muhammad Bulkini



Komentar
Banner
Banner