Hot Borneo

Pak Jokowi, Inilah Curhatan Petani Sawit di Batola Usai Pelarangan Ekspor CPO

apahabar.com, MARABAHAN – Setelah beberapa waktu dipendam, puluhan petani sawit swadaya di Barito Kuala akhirnya curhat…

Featured-Image
Diinisiasi DPD Apkasindo, sejumlah petani sawit swadaya di Barito Kuala menyerukan pencabutan larangan ekspor CPO dan minyak goreng di Kantor DPRD Batola, Selasa (17/5). Foto: Istimewa

bakabar.com, MARABAHAN – Setelah beberapa waktu dipendam, puluhan petani sawit swadaya di Barito Kuala akhirnya curhat soal larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng.

Diinisiasi DPD Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Batola, mereka menyuarakan pencabutan larangan itu kepada anggota DPRD setempat, Selasa (17/5).

Mereka diterima Ketua DPRD Batola, Saleh, Sekretaris Daerah (Sekda) Zulkipli Yadi Noor, serta Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) Suwartono Susanto.

Diketahui pelarangan sementara ekspor CPO, Refined Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, Refined Bleached and Deodorized (RBD) Palm Olein) dan Used Cooking Oil (UCO) diberlakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 28 April 2022.

Pelarangan ini dianggap sebagai salah satu solusi menormalkan harga minyak goreng yang sempat melonjak sejak Februari 2022.

Namun kemudian larangan tersebut berimbas terhadap penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS). Penyebabnya banyak pabrik CPO yang lebih mengutamakan hasil kebun sendiri, lantaran stok juga sudah penuh.

Ternyata kelebihan stok ini menjatuhkan harga kelapa sawit secara nasional. Sekarang TBS dari pengepul hanya dihargai Rp1.800 per kilogram. Sementara harga dari petani senilai Rp800 per kilogram.

“Petani swadaya yang paling kewalahan. Berbeda dengan petani yang sudah masuk kemitraan,” papar Darmono, Ketua DPD Apkasindo Batola.

“Makanya kami menuntut pemerintah pusat mencabut larangan ekspor sawit. Sementara kepada pemerintah daerah, kami hanya meminta difasilitasi,” imbuhnya.

Seandainya larangan tersebut dicabut, diyakini harga pupuk yang sudah melonjak 300 persen terlebih dulu, tidak memberi banyak pengaruh kepada petani.

“Beban harga pupuk dan kebutuhan lain-lain petani hanya merupakan dampak. Namun kalau larangan ekspor dicabut dan harga kembali normal, petani akan memiliki kemampuan membeli pupuk,” tegas Darmono.

Tidak hanya petani yang terimbas larangan ekspor. Buruh dodos sawit juga merasakan efek buruk, karena mereka kehilangan pendapatan.

“Sudah sebulan pemasukan kami berkurang. Kalau biasanya mendapat sekitar Rp1 juta dibagi tiga orang buruh, sekarang sepeser pun tidak diperoleh,” seru Warso, salah seorang buruh sawit di Kecamatan Wanaraya.

Selain terkait ekspor CPO, massa aksi damai juga meminta Pemkab Batola maksimal menerapkan peraturan-peraturan yang sesuai terkait harga TBS di perusahaan.

Mereka menyebut terdapat perusahaan yang semaunya menurunkan harga, bahkan hanya dalam hitungan jam. Akibat kebijakan sepihak ini, pengepul menerima banyak kerugian.

Petani juga berharap Pemkab Batola menegur perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS), seandainya beberapa persyaratan sudah terpenuhi.

“Terkait permintaan larangan ekspor CPO dan minyak goreng, kami sepakat dengan petani dan mendukung pencabutan tersebut,” sahut Saleh.

“Sementara terkait hal lain yang tak berhubungan langsung dengan larangan ekspor, bakal dibahas secara internal. Namun secara lisan, kami memberi masukan kepada Disbunak Batola untuk memfasilitasi petani yang belum bermitra,” tandasnya.



Komentar
Banner
Banner