Regional

Pabrik Sarung Goyor Botol Terbang, Lebih dari Separuh Abad Menggunakan ATBM

Pabrik Sarung Goyor Botol Terbang, Lebih dari Separuh Abad Menggunakan ATBM

Featured-Image
Sumadyo, Karyawan Sarung Goyor Botol Terbang yang memintal benang (Foto: apahabar.com/Arimbihp)

Setia dengan Alat Tenun Tradisional

Di tengah gempuran canggihnya teknologi, Umar tetap mempertahankan alat tradisional.

Justru dengan begitu, dia mengaku tidak takut dengan persaingan dari luar. Karena semakin banyak pabrik yang memproduksi sarung, maka banyak pula suku cadang yang dijual.

“Kalau pakai alat modern, semua orang bisa buat. Mereka juga tahu kalau dengan alat tradisional bisa laku, tapi tidak mau produksi karena (proses pembuatannya) lama. Dari benang ke sarung hampir dua bulan,” ujarnya.

Suasana karyawan Sarung Goyor Botol Terbang yang memintal benang (Apahabar.com/Arimbihp)
Suasana karyawan Sarung Goyor Botol Terbang yang memintal benang (Foto: bakabar.com/Arimbihp)

Meskipun sebenarnya bisa dan mampu, tak terbesit sedikit pun dalam benak Umar untuk mengganti alat produksinya menjadi mesin digital.

Sembari menata produk karyanya, Umar menuturkan motif dan corak yang timbul dari sarung goyor yang ia produksi juga lebih eksklusif dan terbatas karena tidak diproduksi secara massal.

Baca Juga: Tak Cuma Gethuk, Bubur Blendrang Bisa Jadi Alternatif Kuliner Saat Berlebaran di Magelang

Adapun motif yang diproduksi Sarung Goyor Botol Terbang yakni Prapatan, Tejo, Kolong Satu, Kolong Dua, Sidomukti, Putihan, Kotak, serta yang paling banyak peminatnya, yakni motif Kawung.

Proses Pembuatan

Kepada bakabar.com, Umar menceritakan proses pembuatan satu lembar kain, membutuhkan setidaknya 13 tahapan selama kurang lebih 15 hari.

Hasil Pabrik Sarung Goyor Botol Terbang (Apahabar.com/Arimbihp)
Hasil Pabrik Sarung Goyor Botol Terbang (Foto: bakabar.com/Arimbihp)

Waktu tersebut terbilang lama lantaran proses pembuatannyanya yang ketekunan, ketelitian, dan kesabaran agar menjadi selembar kain sarung layak jual.

"Untuk tahap awal pembuatan sarung dimulai dari pemilihan bahan baku termasuk pewarna sintetis diimpor dari Tiongkok, India, Jepang, maupun China yang dikombinasikan dengan sutra," paparnya.

Bukannya tak mencintai produk lokal, Umar memilih impor untuk bahan baku sarungnya lantaran pernah mencoba memakai benang dan pewarna lokal, tapi hasilnya kurang bagus.

"Istilahnya jadi mengerut,” sambungnya.

Baca Juga: Sop Senerek Bu Atmo, Lebih Separuh Abad Menggoyang Lidah Warga Magelang

Setelah pemilihan bahan baku, Umar dan karyawannya mendesain pola, pemintalan benang, pewarnaan, tenun, penjemuran, sampai pengemasan dan pengiriman.

Bahkan, untuk mendapatkan warna putih dalam satu pintal benang, harus diikat terlebih dahulu. Agar saat proses pewarnaan, tidak tercampur dengan warna lain.

"Kami menggunakan alat tenun sederhana dan dilakukan dengan tenaga manusia, maka dalam sebulan, hanya mampu produksi sarung goyor 100 buah dan bisa jadi kurang karena menyesuaikan kemampuan masing-masing pekerja," ujarnya.

HALAMAN
123
Editor


Komentar
Banner
Banner