bakabar.com, OSLO – Pemerintah Norwegia menegaskan tidak pernah menolak masuknya minyak sawit dari Indonesia.
Hanya saja mereka memastikan bahwa produk minyak sawit yang masuk dihasilkan melalui sebuah proses yang berkelanjutan.
"Tidak ada pernyataan atau aturan di Kerajaan Norwegia yang melarang masuknya minyak sawit dari Indonesia," kata Prof Dr Todung Mulya Lubis, Duta Besar RI untuk Kerajaan Norwegia, dalam siaran pers-nya kepada bakabar.com, Senin (1/7).
Hal ini terkait resolusi parlemen Uni Eropa yang menetapkan kebijakan RED II (renewable energy directive) di mana dalam Delegated Act tersebut memasukkan perhitungan ILUC (indirect land use change). Inilah yang dianggap sebagai bentuk baru diskriminasi sawit oleh Uni Eropa.
Saat memberikan sambutan dalam Seminar Sawit yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar RI di Oslo, Jumat kemarin, Todung menegaskan peran strategis industri sawit.
"Industri sawit memainkan peran penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan," kata Todung.
Industri sawit, kata dia, menjadi sandaran kehidupan bagi 20 juta masyarakat Indonesia. Ada 4,2 juta pekerja langsung di sektor kelapa sawit dan 2,4 juta petani sawit.
"Kita ingin menegaskan bahwa industri sawit Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai keberlanjutan," katanya.
Penasihat Politik Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia, Marit Vea, menegaskan hal serupa.
Pemerintah Norwegia, kata dia, bukan melarang masuknya produk minyak sawit dari Indonesia.
"Tetapi apakah sudah dihasilkan melalui appropriate approach. Kami akui minyak sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia," kata Vea.
Karena itu, Indonesia dan Norwegia perlu mencari jalan keluar bersama agar industri sawit juga berperan dalam mereduksi emisi karbon dan mengurangi laju deforestasi.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan industri sawit akan membawa Indonesia mencapai kemandirian energi.
"Siapa yang menguasai energi, mereka akan menguasai dunia. Itu yang membuat negara maju termasuk Uni Eropa khawatir dan akhirnya menghambat perkembangan minyak sawit," kata Togar.
Menurutnya, komitmen untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit agar sejalan dengan tuntutan tujuan pembangunan berkelanjutan global dilakukan melalui berbagai cara. Antara lain penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sebagai standar tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia, ISPO memiliki kesamaan tujuan dengan standar tata kelola global lain. yaitu menekan deforestasi, mengurangi emisi gas rumah kaca dari perubahan fungsi lahan serta kepatuhan terhadap persyaratan hukum lain seperti perburuhan dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Penguatan ISPO mengadopsi nilai-nilai yang tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan agenda pembangunan dunia yang disepakati di PBB untuk dicapai dunia hingga 2030," katanya.
Selain ISPO, Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut.
Karena itu, lanjut Togar, dalam berbagai kesempatan di dalam dan luar negeri, pemerintah bersama pemangku kepentingan berupaya mengampanyekan kelapa sawit sebagai produk strategis yang ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan.
Ke depan, kata Togar, para pemangku kepentingan sawit di Indonesia akan terus memberikan pemahaman kepada masyarakat global bahwa sawit tidak hanya penting bagi Indonesia tetapi juga dunia.
"Produk minyak sawit untuk campuran biodiesel dan industri makanan serta produk turunan lainnya dinilai paling kompetitif dari segi harga dan pasokan dibandingkan minyak nabati lain."
Baca Juga: Kelapa Sawit Indonesia Dilirik Peru, Gapki Kalsel: Pasar Potensial
Baca Juga: Ekspor Sawit Kalsel April-Mei Relatif Datar
Baca Juga: Pemerintah Remajakan Belasan Ribu Hektare Sawit Petani di Paser
Baca Juga: Diblokir Uni Eropa, Ekspor Kelapa Sawit ke Wilayah Itu Malah Meningkat
Editor: Fariz Fadhillah