bakabar.com, JAKARTA – Mengklaim angka produksi tidak turun, pengusaha menyebut perilaku pedagang sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng di pasaran.
Diyakini banyak pedagang minyak goreng yang menyiasati disparitas harga antara Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan harga pasaran.
“Dari suplai minyak sawit hingga produksi minyak goreng tak pernah masalah,” papar Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), Sahat Sinaga, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, Rabu (30/3).
Dijelaskan bahwa produksi olahan kelapa sawit CPO di Indonesia mencapai 49 juta ton di awal 2022. Mengingat kebutuhan dalam negeri sekitar 19 juta ton, bahan untuk bahan minyak goreng hanya 10 persen atau sekitar 4,9 juta ton.
“Produksi begitu banyak, tapi persoalan bukan disebabkan produksi. Situasi itu disebabkan disparitas antara HET dengan pasar, sehingga banyak pedagang minyak goreng menimbun stok demi menaikkan harga. Ketika harga naik, baru stok dikeluarkan pelan-pelan,” yakin Sahat.
Namun demikian, perilaku pedagang minyak goreng menahan stok bukan tanpa sebab. Hal ini dipantik regulasi pemerintah yang berubah-ubah.
“Stok yang ditahan menyiratkan pedagang sedang menunggu aturan kembali berubah. Makanya tak heran apabila terbit aturan HET minyak goreng, stok sulit ditemukan di pasar,” cecar Sahat.
Pernyataan Sahat sendiri merupakan jawaban atas pertanyaan beberapa anggota DPR RI Komisi IV tentang penyebab kelangkaan minyak goreng.
“Saya melihat distribusi di lapangan seperti ditahan-tahan. Ini disebabkan mereka memanfaatkan regulasi berubah-ubah,” cetus Bambang Purwanto, salah seorang anggota Komisi IV.
Sementara anggota DPRD RI lain, Sunarna, menyampaikan keanehan mengingat angka produksi minyak goreng surplus dari kebutuhan dalam negeri.
“Indonesia surplus sepanjang 2021, tapi rakyat sulit dapat minyak goreng sampai antre? Permasalahan arus distribusi, atau jumlah produksi, atau memang sengaja jumlah produksi dikurangi?,” tanya Sunarna.