bakabar.com, MAGELANG - Barisan pemuda-pemudi yang mengendarai sepeda jengki nampak beriringan kian kemari.
"kring-kring-kring" sesekali mereka membunyikan bel, menyusuri sawah-sawah dengan berlatar pemandangan Gunung Merapi dan Sindoro.
Pemandangan dan suasana tersebut akan terasa saat menyusuri Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Letak geografisnya yang berada 600 meter di sebelah timur Candi Borobudur sekaligus di tengah Kawasan Perbukitan Menoreh membuat desa ini memiliki potensi yang beranekaragam, mulai dari wisata sejarah hingga religi.
Tak hanya wisatawan lokal, para turis mancanegarapun kerap dibuat kagum dengan pemandangan dan daya tarik Desa Wanurejo.
Baca Juga: Mengenang Letkol Soedjono, Pahlawan yang Tertembak di Lereng Merbabu
Ditelisik menurut sejarahnya, Wanurejo berasal dari bahasa Sansekerta, yakni vanua yang artinya desa, dan reja yang berarti makmur.
Menurut penelusuran bakabar.com, Minggu (21/5), istilah vanurejo disebut pertama kali dalam prasasti Canggal (723 M) sebagai salah satu desa yang makmur pada masa Kerajaan Mataram Hindu. Kemudian, kata Vanurejo kembali muncul dalam prasasti Karang Tengah berangka tahun 812 M.
Menurut pegiat sejarah Merapi Merbabu, Rendra Agusta (30), walaupun tertulis dalam prasasti peninggalan dinasti Mataram Kuno, sejarah Desa Wanurejo baru dimulai sejak Bendoro Pangeran Harjo (BPH) Tejokusumo mendapatkan perintah dari Sultan Hamengkubuwana II.
Baca Juga: Jelajah Waktu dan Peristiwa di Balik Palagan Ambarawa
"Tejokusumo kala itu diminta untuk membawahi sebuah tanah perdikan (tanah wilayah) bernama Wonorejo," kata Rendra saat ditemui bakabar.com di Magelang, Minggu (21/5).
Sebagai informasi, BPH Tejokusumo merupakan putra Sultan Hamengkubuwana II dari garwo ampean bernama Dewi Rantamsari. Tejokusumolah yang kemudian dinobatkan sebagai adipati pada tahun 1799 dan membawahi daerah Kadipaten Wonorejo.
"Batas wilayah Kadipaten Wonorejo dulunya sebelah barat berbatasan dengan Desa Kajoran, Purworejo, sebelah timur berbatasan dengan Salam, dan sebelah utara berbatasan dengan Mertoyudan," tuturnya.
Wanurejo-Diponegoro
Selain sejarah di masa Sultan HB II, Rendra mengatakan, Desa Wanurejo juga tak lepas dari kisah perlawanan heroik Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Belanda.
"Berdasarkan tahun berdirinya dan beberapa petilasan, seperti bedug dan Masjid, di Wanurejo Pangeran Diponegoro pernah memimpin perjuangan di lereng bukit Menoreh," tuturnya.
Pangeran Diponegoro bersama Eyang Wanu Tejokusumo yang menyamar dengan nama Wanurejo dan membangun barisan perlawanan untuk mengusir Belanda.
Baca Juga: Tugu ANIEM, Saksi Bisu Masuknya Listrik Pertama Kali di Magelang
"Masyarakat Wanurejo percaya bahwa sebuah bedug bernama Genderang Perang Pangeran Diponegoro yang disimpan di Masjid Tiban Baitul Rahman, Tingal Kulon, merupakan bukti nyata perjuangan Eyang Wanu Tejokusumo, pendiri Kadipaten Wonorejo," tuturnya.
Lebih lanjut, Rendra menceritakan, enam tahun berselang setelah Perang Jawa usai, pada tahun 1836, Tejo Kusumo wafat. Lantaran Tejo Kusumo tidak memiliki keturunan, maka ditunjuklah Patih Cikro Pawiro sebagai pengganti.
"Pada masa pemerintahan putra Cikro Prawiro, status administratif Kadipaten yang disandang Wonorejo berubah menjadi kelurahan hingga saat ini," pungkasnya.
Desa Berusia 2 Abad Lebih
Sebagai peringatan Hari Jadi Wanurejo ke 224, masyarakat menyelenggarakan Gelar Budaya dan Merti Dusun dengan meriah.
"Pembuka wajibnya ritual Pisowanan 99 puncaknya baru pertunjukan dengan menampilkan potensi wisata dan kesenian dari 9 desa," kata Ketua Penyelenggara Gelar Budaya Wanurejo, Ganung Hariyanto (40).
Ganung menuturkan, pisowanan 99 merupakan upacara adat menyatukan 9 air dari 9 dusun yang ada di Wanurejo yakni Barepan, Tingal Wetan, Tingal Kulon, Ngenthak, Brojonalan, Bejen, Gedongan, Jowahan, Soropadan.
Baca Juga: Selisik MOSVIA, Sekolah Pendidikan Pangeh Praja di Magelang
"Sudah digelar puluhan tahun, tujuannya agar seluruh masyarakat melebur, rukun makmur dan bermanfaat seperti air yang sudah disatukan ini," ujarnya.
Air yang sudah disatukan tersebut kemudian disanggrahke (diletakkan) di makam Tejokusumo, hingga pisowanan 99 tahun berikutnya.
Nyaris setiap tahun seluruh masyarakat menggelar makan bersama di bawah makam. Tak hanya itu, masyarakat juga turut membersihkan lingkungan sekitarnya.
Baca Juga: Menyusuri Jejak Hoogere Kweekschool, Cikal Bakal Pendidikan Guru di Magelang
Lebih lanjut, Ganung menuturkan, sebagai puncak perayaan, ribuan masyarakat Wanurejo melakukan kirab atau arak-arakan dari Tourist Information Center (TIC) Borobudur hingga Lapangan Pondok Tingal.
"Sepanjang perjalanan, kesenian khas Magelang khususnya Wanurejo dan Borobudur seperti Gedrug, Brodut dan Dayakan ditampilkan oleh masing-masing desa," pungkasnya.