bakabar.com, YOGYAKARTA – Politik hukum penyelesaian sengketa Pemilu di Indonesia selama ini dinilai belum terinstitusionalisasi dengan kuat dan stabil pada satu institusi.
Dua institusi kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan karakter dan mandat konstitusional yang berbeda, dianggap silih berganti menjadi tempat penyelesaian sengketa pemilu.
Hal ini diungkapkan Rayendra Erwin Moeslim Singajuru dalam disertasinya meraih gelar doktor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan tema “Politik Hukum Penyelesaian Sengketa Pemilu: Menggagas Pembentukan Pengadilan Pemilu di Indonesia”.
Rayendra yang masih aktif menjabat Staf Khusus Bidang Politik dan Hukum Menko Polhukam menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, perlu adanya lembaga peradilan khusus Pemilu.
“Ke depan dibutuhkan institusi peradilan pemilu dengan mandat khusus mengadili sengketa pemilu yang dibentuk berdasarkan perintah UU Pemilu agar terdapat konsistensi hukum, kepastian hukum, dan keadilan penyelesaian sengketa pemilu,” kata Rayendra dalam disertasinya seperti dilansir Antara, Sabtu (8/1/2022).
Tanggapan Meko Polhukam
Ini mendapat atensi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Ia menilai wacana pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu perlu segera dirumuskan model kelembagaannya menjelang Pemilu 2024.
Hal itu disampaikan Mahfud usai menguji disertasi Rayendra yang menyoroti urgensi pembentukan lembaga peradilan pemilu di Indonesia.
“Perlulah kita segera merumuskan kelembagaanya,” kata Mahfud kepada awak media.
Dalam ujian terbuka disertasi yang dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Mahfud menjadi salah satu penguji.
Menurut Menkopolhukam, disertasi tersebut mempertegas bahwa menyongsong Pemilu 2024 diperlukan lembaga peradilan pemilu yang jelas, transparan, dan akuntabel.
“Itu sudah ketemu di disertasi itu tetapi kelembagaanya seperti apa kita masih punya waktulah satu tahun lagi menjelang Pemilu 2024,” ujar Mahfud.
Bentuk kelembagaan peradilan pemilu, kata dia, masih perlu didiskusikan apakah nantinya dapat berdiri sendiri, berada di bawah Mahkamah Konstutusi (MK), atau di bawah Mahkamah Agung (MA).
“Apa masuk ke sini, atau ke sana, atau berdiri sendiri, dan sebagainya masih perlu didiskusikan lagi dengan ‘stakeholder’, DPR ingin apa, pemerintah ingin apa, nanti melalui Kemendagri rakyat ingin apa,” ujar dia.
Amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menurut dia, bisa menjadi salah satu alternatif untuk membentuk lembaga peradilan pemilu tersebut.
“Kita lihat salah satu alternatif, tapi kalau amendemen lama kiranya ya karena amendemen itu kan tidak semudah membuat undang-undang,” kata dia.