bakabar.com, JAKARTA – Ibu kota menampung banyak harapan. Siapa saja bisa menjadikannya lahan meraih kesuksesan. Tak heran, jika akhirnya muncul beragam kreasi untuk menangkap peluang, termasuk mengayuh sepeda keliling Jakarta.
Kring... Kring... Kring....
Bunyi nyaring bel sepeda starling pelesetan dari Starbucks Keliling kerap memecah hiruk pikuk Jakarta. Kaki mereka gesit mengayuh seraya menilik lokasi, wara-wiri mencari pembeli sembari menjajakan segelas kopi.
Starling sudah lama menghiasi wajah ibu kota, lebih tepatnya sejak 1999. Halte, stasiun, dan halaman perkantoran menjadi pangkalan terbaik mereka usai berpindah kian-kemari mencari pembeli. Pundi demi pundi dikumpulkan, hingga setidaknya mengantongi Rp200.000 per hari.
Kendati telah melekat dengan image Jakarta, mayoritas pedagang starling rupanya merupakan pendatang dari Madura. Komunitas ini bahkan bermukim bersama di sejumlah kawasan, salah satunya di Jalan Prapatan, Senen, Jakarta Pusat.
Diapit Markas Komando Marinir dan Hotel Aryaduta, 'Kampung Starling' menjadi rumah bagi sekitar 400 penjaja kopi keliling. Jejeran kontrakan dan kamar kos petakan memadati gang yang hanya memiliki akses jalan selebar dua sepeda motor ini.
Para penjaja kopi keliling menyusun rentengan kopi sachet sedemikian rupa di atas sepedanya. Tak cuma minuman berkafein, aneka minuman seduh, mie instan, dan rokok juga turut mereka jajakan.
Eksistensi pedagang starling, sayangnya, kerap dinilai mengganggu pengguna jalan dan merusak estetika kota. Kucing-kucingan dengan Satpol PP pun seolah menjadi hal lazim bagi mereka.
Padahal, banyak masyarakat kota yang justru merasa terbantu dengan hadirnya pedagang starling. Segelas kopi murah meriah menjadi kawan bagi mereka yang tengah merasa penat dengan keseharian di ibu kota.
Bahkan, keberadaan starling yang menjajakan aneka minuman hangat maupun dingin ini, adalah solusi bagi anak nongrong yang butuh minuman berharga miring.
Barisan pedagang Starbucks Keliling adalah wujud kreativitas yang bergulir jadi ladang ekonomi. Mereka, yang notabene adalah perantau, hanya berusaha memenuhi fantasi kemakmuran yang konon bisa didapatkan di Jakarta.