Ramadan 2023

Mengupas Pemaknaan Tradisi Malam Selikuran di Surakarta

Nyala lentera menerangi perjalanan barisan abdi dalem yang menyambut datangnya malam seribu bulan. Lengkap dengan beskap dan kebaya hitam, mereka berjalan berir

Featured-Image
Tradisi Malam Selikuran di Solo, Selasa (12/4). (Foto: apahabar.com/Arimbi)

bakabar.com, SOLO - Nyala lentera menerangi perjalanan barisan abdi dalem yang menyambut datangnya malam seribu bulan. Lengkap dengan beskap dan kebaya hitam, mereka berjalan beriring-iringan menuju Masjid Agung.

"Ting-ting hik, jadah jenang wajik."

"Ting ting hik jadah jenang wajik."

"Ojo lali lho, ting e kobong aja kobong kobong tinge kobongo cithakan e."

Lirik yang dinyanyikan para santi swara atau pelantun lagu Kraton Surakarta terus menggema sepanjang perjalanan.

Ting, dalam bahasa Jawa artinya lentera kaca yang dinyalakan dengan api kecil. Tembang itu mengandung makda dan doa, agar sepanjang perjalanan, hidup para abdi dalem itu tetap terang.

Baca Juga: Meriahnya Kirab Hajad Dalem Saat Malam Selikuran di Solo

Para abdi dalem Kraton Surakarta yang membawa ting sambil melantunkan tembang itu tengah mengikuti tradisi Malam Selikuran.

Sesuai namanya, selikur dalam Bahasa Indonesia artinya dua puluh satu. Maka Selikuran artinya malam ke dua puluh satu bulan Ramadan.

Malam Selikuran di Solo dengan barisan ting di Sriwedari (DOK. ARIMBIHP)
Malam Selikuran di Solo dengan barisan ting di Sriwedari (Foto: bakabar.com/Arimbi)

Sesepuh sekaligus Sejarawan Kraton Kasunanan Surakarta, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Poeger mengatakan secara historis, tradisi malem selikuran dilakukan pertama kali oleh Sultan Agung dan dihidupkan kembali Pakubuwana X.

"Tradisi yang digelar tiap-tiap malam ganjil di 10 malam terakhir bulan Ramadan itu terus mengalami pasang surut tiap tahunnya" kata Poeger kepada bakabar.com, Selasa (11/4).

Baca Juga: Masjid Paromosono, Saksi Perpindahan Kartasura ke Keraton Kasunanan

Sesuai dengan ciri dakwah Sultan Agung, menurut Poeger, selikuran menjadi cara dakwah dan khotbah yang semula bercorak Arab diubah menjadi bercorak Jawa lewat gending serta tetembangan.

"Tradisi malem selikuran pada era Pakubuwono X dilakukan dengan pembacaan doa keselamatan kepada Tuhan dengan berbagai uborampe (alat atau bagian)," jelasnya.

Adapun bagian yang disertakan pada upacara selikuran yakni pertama, gamelan.

Pelaksanaan tradisi malam Selikuran Keraton Kasunanan Surakarta ditandai dengan adanya seperangkat gamelan yang menemani arakan berangkat dari halaman Kori Kamandungan.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Pembagian Bubur Samin Gratis di Masjid Daarulsalam Solo

Seperangkat gamelan terdiri dari demung 2 biji, barung 2 biji, saron 2 biji, saron peking 2 biji, kempyang 2 biji, gong ageng 2 biji, bedug 1 buah, bonang besar serancak.

Tidak memakai kendhang, kethuk, kenong, kempul dan suwukan.

"Kedua, lampu Ting atau penerang untuk mengiringi jalannya tradisi malam selikuran sejak dari Keraton sampai Taman Sriwedari," jelasnya.

Ketiga, sambung dia, tumpeng seribu yang diletakkan didalam takir yaitu tempat nasi yang terbuat dari daun pisang.

Tiap-tiap takir berisi nasi gurih berbentuk tumpeng kecil disertai kedelai hitam, cabai hijau, rambak dan mentimun.

Baca Juga: Napak Tilas Masjid Laweyan Solo, Dibangun Bekas Bangunan Pura

Seribu tumpeng melambangkan janji Allah SWT yang akan memberikan pahala setara seribu bulan kepada hamba-Nya yang ihlas beribadah pada malam lailatul qoda

"Keempat, Ancak Cantoka yang berjumlah 24 dan berada di belakang barisan lampu ting. Ancak artinya tempat makanan, cantoka artinya kodok. Ancak cantoka dapat diartikan jodang ukuran kecil yang berbentuk seperti kodok terbuat dari besi dan kuningan," jelasnya.

Menurut dia, di dalam jodang-jodang kecil tersebut diletakkan takir-takir yang sudah diisi dengan tumpeng.

Malam Selikuran di Solo dengan barisan ting. (DOk. ARIMBIHP)
Malam Selikuran di Solo dengan barisan ting. (Foto: bakabar.com/Arimbi)

Prosesi

Poeger menuturkan, selikuran dilakukan para abdi dalem dan kerabat Kraton Surakarta dengan membawa tumpeng yang dimasukkan jodhang serta arak-arakkan (pawai) jalan kaki dengan menggunakan lampu (ting) menuju Taman Sriwedari.

"Bahkan sejak dulu sampai sekarang, tradisi malem selikuran mendapat antusias yang luar biasa dari masyarakat di Vorstenlanden," jelasnya.

Pemaknaan

Tradisi malem selikuran merupakan produk historis dari adanya proses untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kedamaian Islam.

"Pesan malam selikuran menunjukkan masyarakat Kraton Kasunan Surakarta menjunjung tinggi pentingnya keselarasan antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan makhluk semesta (amemayu hayuning bawana) dengan didasarkan pada semangat tauhid, moral dan akidah," paparnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner