Relax

Mengenang Rubini, Dokter Kalimantan Barat yang Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

apahabar.com, JAKARTA – Tak semua pahlawan nasional memanggul bedil. Begitu pun dengan Raden Rubini Natawisastra, seorang…

Featured-Image
Patung dr.Rubini (Foto: Poskota.co)

bakabar.com, JAKARTA – Tak semua pahlawan nasional memanggul bedil. Begitu pun dengan Raden Rubini Natawisastra, seorang dokter sekaligus pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan Indonesia, yang tengah diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Pengusulan tersebut bukanlah tanpa alasan. Pria kelahiran 31 Agustus 1906 itu telah banyak berkontribusi dalam sejarah Indonesia. Salah satunya, menyelamatkan perempuan dan anak pada masa peperangan yang berkecamuk di Kalimantan Barat.

Adalah Tragedi Mandor, peristiwa berdarah yang menewaskan Rubin beserta istrinya yang tengah hamil, Amalia Rubini, tatkala keduanya merawat korban lain. Kepergian mereka pun dimuat dalam koran Borneo Shimbun Pontianak edisi tahun kedua nomor 135 tanggal 1 Juli 1944.

Berdarah Jawa, Mengabdi untuk Tanah Borneo

img2

Meski sisa hidupnya dihabiskan di Tanah Borneo, Rubini sebenarnya adalah keturunan Jawa. Dirinya rela dipindahkan ke Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, dengan mengemban misi untuk meningkatkan kesejahteraan serta perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Sejarawan sekaligus peneliti utama LIPI, Asvi Warman Adam, menuturkan bahwa awal karier Rubini di Kalbar dimulai dengan menjadi dokter keliling. Dirinya berambisi menurunkan angka kematian ibu melahirkan, yang kala itu sangat masif akibat praktik dukun beranak.

Demi mengurangi angka kematian yang demikian, Rubini sampai membuka praktik kebidanan dan kedokteran umum di rumah pribadi. Dia bahkan tak pernah memungut biaya sepeser pun atas jasanya itu.

Rubini pun seringkali menyambangi daerah-daerah terpencil di luar Pontianak menggunakan perahu. Tak lain dan tak bukan, tujuannya tentu untuk memeriksa kesehatan masyarakat setempat, sekaligus mengobatinya manakala ada yang sakit.

Rubini tak melakukan pengabdian itu seorang diri. Bersama sang istri, Amalia Rubini, keduanya berkeliling memeriksa kesehatan warga setempat. Selain tergabung dalam gerakan Palang Merah, Amalia pun berinteraksi dengan perkumpulan istri dokter di Pontianak guna berbagi informasi dan keterampilan seputar pemberdayaan perempuan dan anak.

Aktif dalam Dunia Politik

Selain menjalankan tugasnya sebagai dokter, Rubini juga aktif dalam bidang politik. Dia merupakan pengurus Parindra, partai politik yang mengemban misi untuk memberikan perhatian pada program-program pemajuan kehidupan rakyat.

Di samping itu, dokter kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini kerap menyuarakan pada pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan pelayanan kesehatan masyarakat di Kalimantan Barat. Sebab, menurutnya, daerah tersebut masih jauh tertinggal dari wilayah lain, baik dari segi fasilitas maupun sumber daya manusia.

Menolak Dievakuasi Menjelang Perang

Rubini boleh dibilang memiliki hubungan cukup dekat dengan pemerintah kolonial. Itulah sebabnya, menjelang masuk tentara Jepang karena berkobar Perang Pasifik, pemerintah kolonial mengajak Rubini untuk dievakuasi ke Jawa.

Kala itu, tepatnya pada 1941, pemerintah kolonial memang mengadakan evakuasi terhadap pejabat-pejabat Belanda, penduduk, dan tokoh masyarakat penting pribumi. Rubini termasuk dalam daftar tokoh masyarakat yang hendak dievakuasi ke Jawa.

Namun, saking cintanya dengan Kalimantan Barat, dia menolak dievakuasi dan memilih tetap tinggal. Rubini paham betul, tugasnya setelah dokter-dokter Belanda dievakuasi, bakal makin berat.

Kalimantan Barat kekurangan tenaga kesehatan, padahal bom atom Jepang sudah mulai menjatuhi wilayah Pontianak. Atas dasar itu, Rubini diangkat sebagai perwira kesehatan cadangan dengan pangkat Letnan 2. Jabatan barunya ini untuk mengurusi rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda.

Gugur di Tangan Jepang

Tahun demi tahun berlalu, namun kondisi di Kalimantan Barat tak kunjung kondusif. Terhitung sejak Oktober 1943, Jepang mulai menangkap tokoh yang dianggap terlibat atau berbahaya. Mereka lantas dieksekusi di Mandor.

Koran Borneo Sinbun, 1 Juli 1944, mewartakan Jepang telah mengeksekusi orang-orang yang terlibat dalam komplotan perlawanan. Sebanyak 48 di antaranya dianggap sebagai pemimpin perlawanan, termasuk Rubini dan istrinya.

Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa sang dokter, sejumlah organisasi mengusulkan Rubini untuk menjadi pahlawan nasional. Usulan tersebut kemudian dibahas oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang berkedudukan di Jakarta.

Nama Rubini boleh jadi kurang akrab di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Namun, sosoknya begitu dikenal dan dikagumi oleh masyarakat Kalimantan Barat, bahkan sudah dianggap sebagai pahlawan, jauh sebelum usulan menjadi pahlawan nasional itu diajukan. (Nurisma)



Komentar
Banner
Banner