bakabar.com, BANJARMASIN – Selasa (16/2), Civitas Akademika beserta para Alumni Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mengenang 53 tahun gugurnya Pahlawan Ampera, Hasanuddin Binti H Mazedi (HM).
Lantas, bagaimana sejarah singkat gerakan mahasiswa masa Hasanuddin Majedi?
Kepada bakabar.com, Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur memberikan penjelasan tentang perjuangan pemuda dan mahasiswa menegakkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, pasca Gerakan 30 September 1965.
Kala itu, perjuangan diwarnai gugurnya Hasanuddin Haji Madjedi (HM), mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat, tepatnya 10 Februari 1966 silam.
Kemudian Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI yang gugur 14 hari sesudahnya, 24 Februari 1966, serta sederet pahlawan Ampera lainnya di berbagai daerah.
Sayangnya, menurut Mansyur, dalam Tap MPRS RI No XXIX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera, hanya menyebutkan nama Arief Rahman Hakim yang gugur pada 24 Februari 1966 dan lima korban lainnya.
Nama Hasanuddin HM tak dicantumkan. Padahal dia kembali ke ‘pelukan’ Ibu Pertiwi 14 hari sebelum Arief.
Untuk itulah beberapa tahun lalu, berbagai kalangan khususnya Komponen Angkatan 1966, mengusulkan Pemerintah RI menetapkan Hasanuddin HM sebagai Pahlawan Ampera.
Lima hari setelah insiden meninggalnya Hasanuddin HM, Harian Kompas edisi 15 Februari 1966, mengangkat berita tentang "Demonstrasi Mahasiswa Banjarmasin di depan Konsulat RRT (The Demonstration of Banjarmasin Student in Front of the PRC’s Embassy)". Penggambatan berita yang begitu heroik.
Demonstrasi ini juga untuk memprotes keberadaan "Cina Merah". Mereka yang dekat dengan ideologi komunis, sentral aktivitasnya di Gedung Tjung Hua Tjung Hui, Jalan Pangeran Samudera, yang kini telah dirobohkan menjadi areal parkir.
Pada saat terjadi gejolak di Indonesia, sebagai rentetan aksi G 30 S, ada sebagian warga Tionghoa memilih pergi dari Banjarmasin. Sebagian besar bermukim di Singapura, atau kembali ke Tiongkok.
Lumpuhnya sektor perekonomian, menurut Yusriansyah Aziz dari Eskponen 66, merembet ke situasi politik yang disusupi Gerakan 30 September, yang diduga didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banjarmasin.
Sejumlah pentolan aktivis 66, melihat indikasi ini terekam dari Siaran Radio Swasta "Viking Hsinhua" di Pecinan (sekarang Jalan Piere Tendean-seberang Siring Sabilal). Hampir setiap hari, radio ini menyuarakan cerita propaganda dengan paham komunis.
Pada malam hari, mereka kerap menggelar pertunjukkan teater dan nyanyian-nyanyian untuk menghimpun massa. Radio ini diduga merupakan bagian jaringan propaganda dari Radio Peking. Provokasi dilakukan RRC melalui siaran radio Peking, memang kontra terhadap revolusi Indonesia dan menunjukkan sikap mendukung gerakan 30 September.
Mansyur mengutip, J.A.C.Mackie, dalam tulisannya "Anti Chinese Outbreak in Indonesia 1959-1968", terangkum pada The Chinese in Indonesia: Five Essays, Melbourne: Thomas Nelson, 1976, juga mengungkapkan beberapa hal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka tersebut. Seperti aktivitas organisasi Baperki (Badan Permusya-waratan Kewarganegaraan Indonesia) yang didirikan beberapa tokoh peranakan Tiong-hoa. Para tokoh Baperki dipimpin Siauw Giok Tjhan. Organisasi etnis Tionghoa ini ideologinya lebih condong ke arah komunis.
Hal tersebut menyebabkan meningkatnya kegiatan anti Tionghoa, karena tuduhan-tuduhan yang berkembang di masyarakat. Baperki merupakan antek PKI dan Republik Rakyat Cina (RRC)/Republik Rakjat Tjina (RRT). Baperki sendiri dianggap organisasi mewakili kepentingan Tionghoa di Indonesia.
Selain itu, dalam susunan Dewan Revolusi terdapat nama Siauw Giok Tjhan. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia beranggapan etnis Tionghoa yang diwakili Baperki dalam kegiatan politiknya, merupakan pendukung paham komunis dan peristiwa 30 September 1965.
Sementara itu, Mansyur mengutip Setiono Benny G, dalam bukunya "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", Jakarta: Elkasa, 2005, mengungkapkan anggapan tersebut muncul karena tindakan- tindakan Baperki pasca peristiwa 30 September 1965, yang tidak mengutuk gerakan tersebut.
Atapun mengeluarkan pernyataan dukacita atas meninggalnya para Jenderal. Anggapan lainnya diperkuat dugaan bahwa baperki merupakan penyandang dana PKI.
Selain itu, kebijakan pemerintah Orde Lama yang mendua dengan melegali-taskan, status kewarganeraan Indonesia dan Cina kala itu, juga mengumbar kecemburuan warga sipil.
Titi Sumbung dalam tulisannya "Perjanjian RI-RRT Mengenai Masalah Dwi kewarganegaraan", di koran Sinar Harapan, 26 Febuari 1969, mengemukakan pada 22 April 1955, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan atau Perjanjian Sunario-Chou En Lai ditandatangani. Perjanjian ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 1958 tertanggal 27 Januari 1958.
Diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarga-negaraan menimbulkan pro kontra partai-partai politik. PNI dan PKI yang mendukung diberlakukannya undang-undang tersebut menilai, bahwa Perjanjian Dwi Kewargane-garaan merupakan cara cepat menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan ganda masyarakat Tionghoa.
Partai oposisi penentang, berpendapat berlakunya perjanjian tersebut, maka dikhawatirkan akan semakin banyak orang asing menetap di Indonesia.
Kecurigaan aktivis angkatan 66 Banjarmasin pun memuncak terhadap eksistensi Gerakan 30 S/PKI di Banua, setelah Ketua Partai Komunis wilayah Kalsel, Abu Amar (A.A.) Hanafiah mendesak Panglima TNI Amir Mahmud, agar masuk Dewan Revolusi bentukan Kolonel Untung.
Saat Pemberontakan PKI pada 30 September 1965 meletus, Amar yang kemudian menjadi Ketua CDB PKI Kalimantan Selatan mendatangi Pangdam X / Lambung Mangkurat Brigjen Amir Machmud pada pagi tanggal 1 Oktober 1965.
Dengan nekat, ia mendesak agar Pangdam mau menjadi anggota Dewan Revolusi. Pangdam Lambung Mangkurat menolak tegas. Masyarakat Kalimantan Selatan sendiri saat itu kebingungan karena kabar-kabar beredar tidak jelas.
Amar Hanafiah sendiri menyatakan Gerakan 30 September didukung tokoh-tokoh di Jakarta. Karena itu, Pangdam X / Lambung Mangkurat, jangan berani menolak keanggotaan Dewan Revolusi dan di Kalimantan Selatan harus segera dibentuk Dewan Revolusi.
Pada sisi lain di internal Kampus Unlam, menurut Yusriansyah Aziz dari Eskponen 66, keberadaan organisasi mahasiswa juga "diadu-asah." Dari isu aktivis KAMI yang dituding anti revolusi (ditunggangi CIA), hingga penolakan mahasiswa terhadap Gerakan Komunis yang tidak disambut baik pemerintah.
Akumulasi rentetan peristiwa ini, membuat mahasiswa dan pelajar tak ada pilihan selain turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi hingga ke konsulat Tiongkok/RRT.
Saat menyampaikan aspirasi, petugas Konsulat Tiongkok menolak, hingga memicu kericuhan. Ini ditambah, aksi petugas keamanan yang menyemprotkan air dari mesin pemadam air untuk menghalau massa.
Hujan suara tembakan dipadu terjangan air, mengguyur semua demonstran. Ada yang pingsan, sebagian besar menjadi korban pemukulan aparat yang represtif.
Usai demonstrasi dan perjalanan kembali ke kampus Unlam, begitu tiba pertigaan pasar Sudimampir-Pasar Baru, teriakan mahasiswa yang menuntut penurunan harga, pembubaran PKI justru makin gencang. Mereka begitu garang menyuarakan tuntutan itu, tepat di depan pertigaan Toko Roti Minseng di Jalan Pangeran Samudera.
Rupanya, kehadiran ribuan massa itu, dianggap menganggu stabilitas keamanan. Hingga pasukan BKO dari Batalyon K Jawa Tengah yang berjaga-jaga, memuntahkan peluru dari senapannya dari ketinggian bangunan.
Di tengah situasi yang kian tegang, jatuh tersungkur bersimbah darah sang pahlawan Amanat Pembelaan Rakyat (Ampera) Hasanuddin HM. Tanggal 11 Februari 1966, Almarhum Hasanuddin HM sebelum dimakamkan, disemayamkan dahulu di Kampus Unlam Jalan Lambung Mangkurat, kemudian jenazah dilepas oleh Rektor Unlam, Milono dengan upacara militer.
Tuntutan angkatan Eksponen 66 Kalsel dan demonstran berhasil dengan ditutupnya Konsulat RRT di Banjarmasin dan semua aset milik Konsulat RRT diambil alih oleh Peperada Kalsel. Mahasiswa Unlam tingkat persiapan ini, akhirnya dinobatkan sebagai Pahlawan Amanat Pembelaan Rakyat (Ampera) dari Banjarmasin.
Melengkapi predikat serupa yang disandang Arif Rahman Hakim dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta. Bahkan, jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan, ber-dampingan dengan makam Pahlawan Nasional, Pangeran Antasari.
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah