Tradisi Leluhur

Mengenal Tradisi Tumplak Wajik, Prosesi Jelang Idul Fitri di Kraton Yogyakarta

Kraton Yogyakarta menggelar tradisi Numplak Wajik menjelang hari raya Idul Fitri.

Featured-Image
Tradisi Tumplak Wajik di Kraton Yogyakarta menjelang Idul Fitri, Rabu (19/4) (apahabar.com/arimbihp)

bakabar.com, Yogyakarta - Kraton Yogyakarta menggelar tradisi Numplak Wajik menjelang hari raya Idul Fitri.

Setelah sempat terhenti 2 tahun akibat pandemi Covid-19, tradisi tersebut kembali digelar dengan khidmat sekaligus meriah.

Selain agenda menyambut Idul Fitri, ini juga sebagai penanda dimulainya Grebeg Syawal.

Sebagai informasi, Grebeg Syawal merupakan hajatan berupa syukuran untuk mengakhiri bulan suci Ramadan.

Baca Juga: Pimpin Apel Operasi Ketupat 2023, Khofifah Musnahkan 22 Ribu Miras Selama Ramadan

Grabeg Syawal dan Tumplak Wajik diawali dengan pembuatan lima jenis gunungan dari berbagai bahan baku kekayaan bumi dan makanan tradisional.

Proses mendoakan gunungan di Tradisi Tumplak Wajik, Rabu (19/4) (bakabar.com/arimbihp)
Proses mendoakan gunungan di Tradisi Tumplak Wajik, Rabu (19/4) (bakabar.com/arimbihp)

Prosesi Tumpak Wajik

Sesuai namanya, prosesi inti dari upacara ini adalah menata wajik sebagai landasan dari gunungan.

"Sembari menata, kegiatannya diiringi permainan gejog lesung oleh 8 abdi dalem keparak mengawali proses numplak wajib gunungan," kata Penghageng KHP Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, GKR Mangkubumi.

Kemudian, GKR Mangkubumi menuturkan, prosesi dilanjutkan dengan berdoa yang dipimpin abdi dalem kaji.

"Selanjutnya abdi dalem konco abang memapah wajik menuju kerangka gunungan puteri," sambungnya.

Tradisi memainkan musik lesung pada saat Tumplak Wajik, Rabu (19/4) (bakabar.com/arimbihp)
Tradisi memainkan musik lesung pada saat Tumplak Wajik, Rabu (19/4) (bakabar.com/arimbihp)

Setelah kerangka dipapah, kegiatan dilanjutkan dengan pengolesan dinglo bengle oleh abdi dalem perempuan.

“Prosesi hari ini detilnya itu apa namanya bagian dari membuat gunungan. Dalamnya ada wajik ada rengginang. Itu salah satu contoh untuk kita mulai mengadakan garebeg,” katanya.

Baca Juga: Berkah Ramadan, Penjual Manisan di Cianjur Kebanjiran Orderan 

Selama proses pembuatan gunungan, gejog lesung tidak berhenti.

Tak heran, keunikan dan suara lesung membuat prosesi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Setelah prosesi selesai, para abdi dalem kemudian mengoleskan dlingo bengle.

Untuk diketahui, dlingo bengle adalah parutan empon-empon berwarna kuning.

Warga yang berada di luar banyak yang meminta agar bisa mendapatkan ramuan ini.

Bahkan, ada yang dioleskan ke anak hingga dibawa pulang.

Baca Juga: Jelajah Kisah ‘Fathu Makkah’, Jejak Perang di Bulan Ramadan

Salah seorang warga yang turut meminta dlingo bengle, Bernadeta Nesilia (30) menuturkan, dlingo bengle adalah berkah.

Menurut dia, kepercayaan ini telah dia pegang sejak masih kecil. Warga Kemantren Kraton inipun senang karena akhirnya garebeg kembali terselenggara setelah absen tiga tahun. 

“Fungsinya buat tolak bala, tolak sawan, minta keselamatan buat anak, terhindar dari penyakit tetap sehat apalagi cuaca seperti ini. Dari kecil sudah ikut, rumah saya di selatan ini,” tukasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner