Hot Borneo

Menengok Rumah Singgah Baiman, RSJ Versi Lite di Banjarmasin

Kapasitas Rumah Singgah Baiman milik Dinas Sosial (Dinsos) Kota Banjarmasin yang mestinya diperuntukkan untuk penanganan sementara, kini berubah. 

Featured-Image
Kondisi asrama wanita di Rumah Singgah Baiman. Foto: apahabar.com/Riyad

bakabar.com, BANJARMASIN - Kapasitas Rumah Singgah Baiman milik Dinas Sosial (Dinsos) Kota Banjarmasin yang mestinya diperuntukkan untuk penanganan sementara, kini berubah. 

Sebanyak 55 orang, pria maupun wanita, ditampung di Rumah Singgah Baiman. Kebanyakan yang tinggal adalah jebolan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum. Mereka tertahan, karena sudah tak diinginkan untuk pulang.

Semua ditampung di lima bangunan asrama dengan total 16 bilik atau kamar. Pria dan wanita berada di asrama yang berbeda.

Namun yang ditampung bukanlah warga atau gelandangan, pengemis, hingga lansia terlantar yang kejiwaannya normal, tapi justru orang dalam gangguan kejiwaan (ODGJ).

Keberadaan mereka di sana, ada yang dari hasil penjaringan Satpol PP Kota Banjarmasin, ada pula yang diantar oleh keluarga sendiri.

Kondisi itu lantas membuat Rumah Singgah Baiman tak ubahnya seperti rumah sakit jiwa versi lite.

Padahal, menurut aturan, peruntukkan rumah singgah, hanya untuk penampungan sementara. Warga yang dibawa ke sana, harusnya dikirim ke layanan kesehatan atau layanan sosial yang dibutuhkan, kemudian.

Misalnya, bagi penyandang disabilitas mental atau ODGJ, dikirim ke rumah sakit jiwa atau ke rehabilitasi sosial hingga dinyatakan sembuh.

Namun tidak demikian dengan kondisi di Rumah Singgah Baiman. ODGJ, justru ditampung dalam waktu lama. 

Saat media ini berkunjung ke Rumah Singgah Baiman, sejumlah petugas rumah singgah terlihat sibuk. Ada yang memasak, membersihkan lantai, hingga duduk-duduk atau berbincang dengan sejumlah penghuni.

Penghuni ini adalah mereka yang sudah bisa diajak berbincang-bincang. Apabila kondisi yang dibincangi tampak stabil.

"Kalau lagi tidak normal, ya, tidak bisa dibincangi," ujar Hamsin (37), seorang petugas di rumah singgah, Kamis (3/8) siang.

Bertugas sejak awal 2012, Hamsin sudah sangat hapal dengan nama, dan sikap para penghuni.

Ketika Hamsin menyapa, para penghuni di sana terlihat sigap memberikan jawaban. Meski tak sedikit pula yang menimpalinya dengan keluh kesah dan jawaban yang kurang masuk akal.

Ada yang curhat tak keruan. Ada pula penghuni yang justru minta dicarikan anak. Ke semuanya itu tentu dimaklumi oleh Hamsin.

Siang itu, mayoritas penghuni rumah singgah berada di asramanya masing-masing. Hanya ada tiga orang yang tampak berlalu-lalang di luar asrama kemudian duduk-duduk di sebuah bangku panjang.

Ketiganya adalah pria. Inisialnya A, R dan D. Ketika dibincangi, A mengaku sudah berada di rumah singgah selama lebih dari tiga tahun. Sedangkan R dan D, sudah berada selama lebih dari dua tahun.

Ketiganya masih bisa dibincangi dengan normal. Maskipun, sesekali ngelantur. Atau tersenyum sendiri.

Baik A, R dan D, sama-sama tidak tahu mengapa mereka bisa sampai diboyong ke rumah singgah. Katanya, sudah tidak ingat.

Namun ketiganya mengungkapkan pernyataan yang sama. Mereka di situ, lantaran pihak keluarga yang tak ingin lagi menerima mereka. Menggelandang di jalanan hingga terjaring razia.

Berdasarkan penuturan Hamsin, ketika diantar ke rumah singgah, kejiwaan ketiganya memang sudah agak terganggu.

Seiring berjalannya waktu, kondisi kejiwaan mereka berangsur-angsur pulih. Dan kendati masih bisa diajak berbincang ketiganya masih perlu diawasi.

"Karena sesekali penyakitnya bisa kumat. Mereka juga masih perlu mengonsumsi obat," terangnya.

Di rumah singgah, kegiatan yang dilakukan penghuninya hanyalah makan dan tidur. Kegiatan lain, hanya di waktu-waktu tertentu. Itupun hanya sekali dalam dua pekan, yakni berolahraga.

Dari total 55 penghuni rumah singgah, kata Hamsin, paling-paling hanya 20 orang yang bisa dikeluarkan dari asrama untuk mengkuti olahraga.

"Tergantung dari kondisi kejiwaan mereka. Kalau berpotensi mengamuk, ya terpaksa didiamkan di dalam asrama," jelasnya.

Dan dari sebanyak 20 orang itupun, tidak semuanya yang mau berolahraga. Sebagian besar hanya duduk-duduk dan berbicara satu sama lain.

"Tak jelas pula apa yang dibicarakan," ungkapnya.

Selama di rumah singgah, para penghuninya tentu dilayani sedemikian rupa. Segala kebutuhan mereka difasilitasi. Contoh untuk konsumsi makan dan minum.

Perihal kesehatan pun juga jadi perhatikan. Petugas petugas pelayanan kesehatan yang datang satu kali dalam sepekan. 

Selain memeriksa kesehatan para penghuni, mereka juga kerap menitipkan obat-obatan sesuai dengan kondisi kesehatan penghuni rumah singgah.

Di sisi lain, untuk ODGJ yang kejiwaannya mulai stabil seperti A, R dan D memiliki ruangan terpisah dari ODGJ lainnya. Itu dilakukan, tentu agar kejiwaan mereka tetap stabil.

"Mereka juga kerap ditawarkan mau tidur di mana yang mereka mau, di area rumah singgah. Senyaman mereka. Jadi, tidak digabung dengan penghuni lain," jelas Hamsin.

Lalu, sesekali, untuk mengisi waktu luang, mereka juga dipekerjakan sebagai petugas pembantu.

"Misalnya, mengisi air minum," ujarnya.

Oleh sebab itu, mereka bisa bebas berkeliaran di kawasan ini. Dengan catatan tidak keluar dari pintu gerbang.

Meski sesekali ada saja penghuni yang iseng keluar dari rumah singgah.

"Ketika itu terjadi, kami cari. Kalau tidak dapat apa boleh buat. Biasanya, yang tidak dapat itu nantinya ditemukan oleh satpol pp. Atau petugas kami yang melakukan patroli. Ada pula yang kembali sendiri," jelasnya.

Media ini kemudian diajak untuk mendatangi salah satu asrama perempuan yang posisinya bersisian dengan kantor UPT Rumah Singgah Baiman.

Ia tampak memanggil nama salah satu penghuni asrama. Dengan cekatan, seorang perempuan tampak menghampirinya. Dari balik teralis jendela, perempuan itu tampak tersenyum kemudian tertawa.

"Seperti beliau ini. Pernah keluar dari sini, tapi kembali lagi," ucapnya.

Berdasarkan keterangan Hamsin, N sudah menetap di rumah singgah selama delapan tahun lamanya. Cukup lama ia berbincang dengan perempuan 44 tahun itu.

Kepada Hamsin, perempuan itu bercerita tentang alasan mengapa dia bisa berada di rumah singgah.

"Katanya, dia ditinggal suami karena tidak bisa memasak," ujarnya.

"Seperti inilah kondisi di sini. Terkadang, bila memang bisa dibincangi, ya nyambung saja. Kalau tidak, bisa-bisa kita disiram pakai air. Pernyataan mereka bisa berubah-ubah. Hari ini jawabannya seperti ini, besok belum tentu," serganya.

Selain Hamsin, ada sejumlah petugas lain di Rumah Singgah Baiman itu kemarin (3/7).

Mereka adalah mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMB) yang sedang melakukan penelitian, khususnya terkait kejiwaan para penghuni rumah singgah.

"Sekaligus membantu kami bekerja," ujar Hamsin.

Salah satunya, adalah Nandika. Sudah tiga pekan ia beserta sejumlah rekan sekampusnya berada di rumah singgah. Mereka datang setiap pagi dan pulang ketika sore hari. 

Berdasarkan keterangan lelaki yang duduk di Fakultas Kesehatan Ilmu Keperawatan itu, mayoritas penghuni rumah singgah memang mereka yang memiliki gangguan kejiwaan.

"Dari hasil observasi sementara ini, itu dilatarbelakangi sejumlah faktor. Ada lantaran faktor lingkungan dan ekonomi," tutupnya.

Kepala Dinsos Banjarmasin, Dolly Syahbana membenarkan bahwa mayoritas yang menghuni rumah singgah adalah ODGJ.

Namun demikian, bukan tanpa alasan mengapa hal itu dilakukan. Ia bilang, itu lantaran ODGJ yang menghuni rumah singgah, justru tak lagi bisa diterima oleh keluarganya.

"Sebenarnya, sesuai aturan itu kami cuma bisa menampung selama 40 hari. Sesudah itu, kami kembalikan ke keluarganya," ujarnya, Kamis siang.

Namun menurut Dolly, lantaran pihak keluarga yang bersangkutan tak mau menerima, maka tak ada pilihan lain di samping menampung mereka di rumah singgah.

"Negara tak bisa mengabaikan. Kami lepas begitu saja, khawatirnya mengamuk-ngamuk. Mereka tetap harus dikontrol. Konsumsi obatnya, hingga makanan dan minumannya," ujarnya.

Adapun alasan tak diantar ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ),  Menurut Dolly, itu hanya bisa dilakukan ketika ODGJ parah.

"Perawatan yang bisa dilakukan di RSJ pun hanya selama dua pekan. Sesudah itu, dikembalikan ke keluarganya karena dianggap sudah stabil," ujarnya.

"Tapi ya itu tadi, lantaran keluarganya tidak mau menerima dan dianggap aib, maka ditampung lah di sini," tekannya.

Sampai kapan mereka ditampung di rumah singgah? Dolly mengatakan semampu pihaknya.

"Bahkan, ada yang sampai wafat. Kami hubungi keluarganya, mereka justru meminta kami yang memakamkan. Beruntung, ada pemakaman umum milik pemko," jelasnya.

"Sejak 2022 hingga 2023 ini, seingat saya sudah ada 20 penghuni rumah singgah yang wafat. Sepertinya, karena imun mereka yang sudah melemah," tambah Dolly.

Di sisi lain, rumah singgah yang tampak berubah fungsi laiknya RSJ mini itu juga membuat pihaknya kesulitan untuk melakukan pembinaan, khususnya, kepada para anjal, gepeng hingga wanita tuna susila (WTS) yang kerap terjaring razia.

"Wadahnya tak ada. Karena dipakai untuk menampung mereka (ODGJ)," ucapnya.

Beruntungnya, sejauh ini pihaknya sudah mulai membangun penampungan atau shelter baru yang ke depannya dikhususkan untuk upaya pembinaan bagi anjal, gepeng, hingga WTS yang terjaring razia.

"Sekali lagi, kami tak bisa membiarkan. Bila ODGJ itu dibiarkan, artinya negara tak hadir. Maka mau tak mau juga harus ditampung di rumah singgah," tandasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner