Tradisi Saparan

Menelisik Tradisi Saparan di Lereng Gunung Merbabu

Tradisi Saparan digelar setiap tahun sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan.

Featured-Image
Tradisi Saparan di Lereng Merbabu (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, MAGELANG - Tradisi Saparan digelar setiap tahun sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat lereng Merbabu.

Barisan laki-laki berpeci terlihat berduyun-duyun menuruni jalanan berliku meski matahari di Lereng Damalung masih terbit malu-malu.

Langkah kaki mereka disambut riuh kokok ayam yang bersautan, tangan kiri sibuk memapah pisang dan ubarampe nya, sedang tembakau lintingan lengkap dengan papir di tangan kanan.

Para lelaki itu berhenti di sebuah rumah di ujung jalan, setibanya di sana, segala barang bawaan diletakkan dan mereka duduk bersila di atas tikar mendong yang sudah digelar sejak pagi-pagi buta.

Tradisi Saparan di Lereng Merbabu (Apahabar.com/Arimbihp)
Tradisi Saparan di Lereng Merbabu (Apahabar.com/Arimbihp)

Berbeda dengan hari biasanya, pembukaan Safar atau Sapar memiliki makna tersendiri bagi masyarakat lereng Merbabu, khususnya di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.

Baca Juga: Menjaga Tradisi Mangayu Dalam Hajatan Besar di Inan Balangan

Safar adalah bulan kedua setelah Bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Setiap tahunnya, masyarakat Bandungrejo merayakan datangnya bulan Safar dengan tradisi Saparan.

Sesepuh Desa Bandungrejo, Taryono (70) menuturkan, tradisi saparan adalah bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat lereng Merbabu selama 1 tahun penuh.

"Saparan juga berjujuan untuk menjalin silaturrahmi antar warga satu sama lain," kata Taryono saat ditemui bakabar.com, Rabu (6/9).

Menurut Taryono, dalam tradisi Saparan, masyarakat juga melakukan doa bersama menggunakan tata cara agama Islam dengan ujub atau tujuan agar Desa Bandungrejo senantiasa aman, tenteram dan sejahtera.

Selain itu, masyarakat juga memohon doa agar masyarakat yang rerata bekerja sebagai petani diberi kelancaran dalam bekerja dan hasil panen meningkat.

Prosesi doa pada Tradisi Saparan dipimpin seorang kyai, sesepuh desa dan lurah atau Kepala Dusun (Kadus) Desa Bandungrejo dan diamini oleh masyarakat yang hadir.

Sesudah berdoa, masyarakat beramai-ramai "mencicip" sepotong atau sepucuk nasi yang sudah didoakan sebelum dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Baca Juga: Nasi Buka Luwur, Tradisi Membagi Nasi Sebelum Buka Kelambu Sunan Kudus

Makanan yang didoakan pada tradisi Saparan (Apahabar.com/Arimbihp)
Makanan yang didoakan pada tradisi Saparan (Apahabar.com/Arimbihp)

"Istilahnya makanan ini sudah mambu donga (sudah didoakan) dan diyakini membawa berkah bagi siapa saja yang menyantapnya," katanya menjelaskan.

Nasi dan aneka lauk pauk yang dibawa para lelaki di Desa Bandungrejo ini dimasak sehari sebelum perayaan Saparan tiba.

Proses memasaknya dilakukan beramai-ramai atau dalam Bahasa Jawa disebut rewangan.

Jenis makanan yang wajib dibawa yakni gedhang saktangkep (pisang 2 sisir), ayam jago yang dimasak ingkung, ketan golong dan tiplek.

Selebihnya, masyarakat boleh membawa beberapa makanan lain untuk didoakan dan supaya mendapat berkah.

Taryono menuturkan, makanan wajib yang dibawa saat Saparan memiliki makna masing-masing.

Adapun makna yang dimaksud yakni ingkung jago, ayam jantan sebagai simbol kemenangan dan kekuatan.

Baca Juga: Mengintip Tradisi Jamasan Pusaka 1 Sura di Menoreh Magelang

"Harapannya, masyarakat Bandungrejo serta siapapun yang menyantapnya bisa selalu menang dalam hal-hal baik dan memiliki kekuatan untuk melawan situasi buruk," ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, ketan golong, memiliki makna agar masyarakat memiliki persaudaraan yang erat dan "lengket" seperti ketan.

Gedhang setangkep adalah dua sisir pisang yang disusun menelungkup menyerupai orang bergandeng tangan.

"Hampir mirip dengan ketan, gedhang setangkep maknanya masyarakat agar mampu bergandeng tangan melawan memala (mara bahaya) yang mungkin bisa datang kapan saja," tuturnya.

Sedangkan tiplek, memiliki simbol atau makna, bahwa setiap ada kesulitan dan kepahitan atau rasa apapun dalam hidup, pasti ada penawarnya.

Usai berdoa dan makan bersama, masyarakat selanjutnya melakukan ujung-ujung  atau saling kunjung antar sanak saudara dan tetangga.

"Hampir sama dengan lebaran, di tiap rumah juga melakukan open house, saling silaturahmi saudara dan tetangga," kata Taryono.

Sebagai acara puncak, masyarakat Bandungrejo merayakan Saparan dengan menggelar pertunjukan wayang kulit satu malam penuh.

Lakon yang dibawa tiap tahunnya pun beragam, kali ini bertajuk Bangun Gedhong Pusaka Manthilirejo.

Ki Bayu Hadi Purwoko dan Ki Hendri Sukoco akan menjadi duet dalang yang fantastik dan sayang untuk dilewatkan.

Dengan demikian, Taryono berharap, kemeriahan dan euforia di tiap adat tradisi di Ngablak dan sekitarnya bisa tetap lestari dan diteruskan anak cucu.

"Tradisi ini adalah warisan budaya yang wajib kita lestarikan," tandasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner