bakabar.com, BANJARBARU – Uni Eropa di ambang kekhawatiran krisis energi menjelang musim dingin.
Lantas sejauh mana pengaruhnya terhadap permintaan batu bara di Indonesia khususnya Kalsel?
Pengamat Ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Muhammad Handry Imansyah berpandangan terjadinya krisis energi di Uni Eropa akibat transisi energi dari energi kotor menuju energi yang lebih bersih.
"Selain itu, ditambah dengan mulai bergeraknya perekonomian pasca-pandemi sehingga permintaan energi meningkat," ucapnya kepada bakabar.com, Rabu (13/10).
Menurutnya, sebagian besar negara-negara Uni Eropa sudah mulai mengistirahatkan pembangkit listrik berbasis batu bara ke energi gas yang lebih bersih.
Memang, kata dia, permintaan batubara masih akan naik terutama untuk negara-negara berkembang dan emerging market seperti India dan Cina.
Namun permintaan batubara Indonesia masih cukup kuat dengan outlook melandai.
“Karena Jepang sudah memutuskan tak memproduksi mesin pembangkit berbasis batu bara," bebernya.
Selain itu, Prof Handry bilang PLN juga sudah berencana untuk memensiunkan mesin pembangkit berbasis batu bara lebih cepat.
Karena itu, pengembangan batu bara ke depan sesuai road map, akan dihilirisasikan berupa produk konversi menjadi gas dan energi cair yang lebih bersih.
Kata dia masalahnya adalah produk hilirnya masih relatif belum bisa bersaing dengan energi yang lebih bersih.
"Namun, seiring waktu karena energi yang lebih bersih akan semakin mahal, maka produk konversi batu bara akan menjadi bisa bersaing dari sisi harga.
Apalagi dengan diundangkannya RUU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang salah satu isinya adalah pengenaan pajak karbon, penggunaan energi yang memiliki emisi karbon yang tinggi akan dikenai pajak yang tinggi juga," ujarnya.
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis ULM ini menilai Indonesia akan menjadi salah satu negara berkembang pertama yang mengenakan pajak karbon.
"Jadi adanya musim dingin di Uni Eropa belum tentu akan meningkatkan permintaan batu bara Indonesia khususnya Kalsel akibat transisi energi bersih di Uni Eropa," tutur Prof Handry.
Selain itu, penggunaan energi yang banyak emisi CO2 akan dikenai pajak di Uni Eropa sehingga harganya juga menjadi lebih tinggi. Hampir di semua negara Uni Eropa telah mengenakan pajak karbon di dalam menuju mitigasi perubahan iklim.
Sementara itu, data Dinas Perdagangan Kalsel nilai ekspor batu bara mengalami kenaikan tajam dari Juli sampai Agustus 2021
Total nilai ekspor Kalsel untuk komoditas batu bara mencapai 9.732.504.887 kilogram (netto) dengan nilai US$ 635.354.022.
Negara tujuan ekspor batubara Kalsel masih didominasi China sebesar 5.970.085 ton metrik (US$ 359.909.972). Filipina dengan 530.753.015 kilogram (US$ 47.356.720), Korea Selatan 720.034.020 kg (US$ 46.809.805), India (742 juta ton/USD 45,2 juta lebih), Jepang (417 juta ton lebih/USD 35,4 juta lebih). Disusul Malaysia, Vietnam, Thailand dan Pakistan.
Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel Isharwanto tak merespons saat dihubungi media ini sejak Selasa (12/10) kemarin siang.
Diketahui, sejumlah kewenangan di dinas ini sudah diambil alih oleh pemerintah pusat sejak 11 Desember 2020. Alhasil saat ini Dinas ESDM Kalsel tak banyak kerjaan.