bakabar.com, JAKARTA – Rencana Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta membentuk tentara siber penangkal hoaks yang menyerang Gubernur Anies Baswedan dipertanyakan.
Mengutip CNN Indonesia, langkah MUI DKI tersebut dinilai tak sejalan dengan tugas MUI sebagai pengayom masyarakat. MUI dianggap punya misi terselubung terkait pembentukan tentara siber. Misi itu berkaitan dengan urusan politik menjelang Pilpres 2024.
Kritik santer dilontarkan PDIP dan PSI. Mereka mempertanyakan tugas dan wewenang MUI membentuk cyber army penangkal hoaks pemberitaan yang dinilai menyudutkan Anies dan para ulama.
“Apakah MUI punya tugas sebagai (pasukan) siber? Saya kira tidak,” kata Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono, Senin (22/11).
Rencana pembentukan bala siber itu kali pertama disampaikan Ketum MUI DKI Jakarta, Munahar Muchtar. Dia bilang, bala siber yang akan berada di bawah Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI Jakarta itu akan membeberkan data prestasi Anies, jika orang nomor satu itu di DKI itu disudutkan, misalnya terkait kinerja.
Kata Munahar, Infokom MUI DKI akan melakukan “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar” melawan para buzzer yang meresahkan. Bukan hanya terkait Anies, lebih-lebih narasi yang menyudutkan umat Islam dan ulama.
“Jika para buzzer mencari kesalahan Anies, Infokom mengangkat keberhasilan Anies baik tingkat nasional maupun internasional,” ujar Munahar, dalam Rapat Koordinasi Bidang Infokom se-DKI Jakarta di Hotel Bintang Wisata Mandiri, Senin (11/10).
Peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Achmad Munjid mempertanyakan rencana MUI DKI itu.
Munjid menilai MUI DKI terlalu ceroboh menarik kesimpulan soal kelompok yang memusuhi umat Islam.
Di media sosial, katanya, interaksi warganet untuk saling menyukai, mengikuti, atau sebaliknya, adalah hal yang wajar dan lumrah. Dalam interaksi itu, Munjid menerangkan, siapa pun bisa menghadapi hoaks tanpa melihat latar belakang. Baik muslim atau nonmuslim.
Menurut dia, terlalu dini menarik kesimpulan atau memosisikan umat Islam tengah disudutkan. Kata dia, kesimpulan itu akan semakin membuat situasi cepat terbelah dan memanas.
“MUI mau meredam atau makin membakar? Silakan saja bentuk cyber army, luruskan berita yang enggak benar, tunjukkan ketidakbenarannya di mana, ajak publik untuk berpikir kritis dan tak mudah termakan berita palsu. Kemukakan dengan cara yang arif,” kata Munjid, Selasa (23/11).
Di sisi lain, Munjid tetap mempertanyakan alasan pembentukan cyber army pembela Anies dan ulama itu. Menurut dia, MUI tidak mengatakan dengan jujur alasan pembentukan bala siber pembela ulama dan Anies itu.
Ia curiga, bala siber itu justru hanya berpotensi membuat narasi pembelah dan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Terlebih, kini partai politik dan sejumlah politikus mulai ancang-ancang menghadapi musim pemilu 2024.
“Belum-belum, MUI sendiri kan pakai istilah ‘menghadapi kekuatan yang memusuhi umat Islam’. Kita tahu, sejak maju Pilgub, Anies berada di mana. Jadi ini soal dukungan politik juga,” kata dia.
Kecurigaan Munjid diperkuat hasil riset yang dirilis Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Hasil riset tersebut mengungkap, pasukan siber kerap menggunakan cara-cara kontraproduktif seperti menyebarkan berita bohong, doxing, dan trolling yang menciptakan disinformasi.
Buzzer kerap menjadi alat yang digunakan elite politik untuk memanipulasi opini publik di media sosial.
“Nah itu adalah lapis informasi yang disembunyikan. Tapi mungkin justru itulah informasi yang paling penting,” lanjut Munjid.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan klarifikasi terkait pembentukan bala siber MUI DKI. Wakil Gubernur DKI, Ahmad Riza Patria mengaku bahwa pihaknya tak pernah memberi arahan atas pembentukan program baru itu.
Namun menurut Riza, pembentukan cyber army bagi sebuah lembaga bukan hal baru. Sejumlah lembaga kata dia telah banyak melakukan. Dia pun meminta agar keberadaan pasukan siber nantinya tetap menjaga arus informasi dengan tidak menyebarkan berita hoaks ataupun fitnah yang tidak bertanggung jawab di media sosial.
“Tidak ada arahan khusus (membentuk pasukan siber), kami menghormati semuanya,” kata Riza, Senin (22/11).
Meski begitu, Munjid lebih lanjut turut mempertanyakan posisi MUI DKI. Sebab secara historis, jelas Munjid, MUI dibentuk di masa Orde Baru sebagai alat untuk mengontrol gerakan Islam. Namun, posisinya tak secara resmi di bawah pemerintah.
Oleh karena itu, dia pun mempertanyakan alokasi dana APBD yang MUI terima. Secara posisi, MUI, kata dia, juga bukan ormas seperti NU atau Muhammadiyah yang mewakili masyarakat akar rumput atau grassroot. Oleh sebab itu, dia mengaku heran dengan posisi MUI yang tak mewakili siapapun.
“Kalau MUI yang bukan lembaga resmi pemerintah mendapat dukungan dana dari APBD, apa dasarnya? bagaimana dengan organisasi lain?” katanya.
“MUI memang anomali. Awalnya dibentuk sebagai alat kontrol kekuatan otoriter untuk mengendalikan umat Islam, sekarang masih terus dipakai, kadang oleh penguasa, kadang oleh sekelompok orang Islam, untuk mencari justifikasi politik atas nama Islam,” tambahnya.