Tak Berkategori

Memahami Rumitnya Penentuan Awal Ramadan dengan Metode Rukyatul Hilal

apahabar.com, BANJARMASIN – Rukyatul Hilal secara sederhana bisa diartikan dengan melihat bulan. Namun tentu saja, praktiknya…

Featured-Image
Ilustrasi Rukyatul Hilal. Foto-okezone

bakabar.com, BANJARMASIN - Rukyatul Hilal secara sederhana bisa diartikan dengan melihat bulan. Namun tentu saja, praktiknya tidak sesederhana itu. Bagaimana sebenarnya?

Perhitungan penanggalan Hijriyah didasari pada peredaran bulan yang mengelilingi bumi. Setiap bulan diawali dengan kemunculan hilal yaitu bulan sabit muda pertama. Hilal akan muncul di kaki langit saat ghurub (terbenam matahari).

Baca Juga: Sambut Ramadan; Marbut Masjid Raya Sabilal Muhtadin Dituntut Bekerja Ekstra

Bulan memerlukan waktu selama 29,531 hari atau hampir 29,5 hari untuk mengitari bumi. Karena itulah, setiap bulan dalam penanggalan hijriyah hanya ada dua kemungkinan durasi hari dalam satu bulan. Jika tidak 29, berarti 30 hari.

Penampakan bulan akan berubah dari hari ke hari, jika dilihat dari bumi. Semakin menjauh dari matahari, maka cahaya bulan akan semakin luas. Perubahan inilah yang kemudian jadi tanda bahwa bulan sabit adalah awal atau akhir bulan (antara tanggal 29, 30, atau 1). Sedangkan purnama berada tepat di pertengahan bulan.

Dari membaca penampakan bulan itu, lahirlah metode yang kemudian dikenal sebagai metode "rukyatul hilal". Berasal dari kata rukyat yang secara etimologis berarti "melihat". Sedangkan hilal merupakan bulan yang berbentuk sabit.

Rukyatul hilal berarti upaya untuk melihat secara langsung bulan sabit di kaki langit di waktu ghurub dengan mata, baik menggunakan alat bantu optik maupun dengan mata telanjang (Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, hal. 193)

Persoalannya, melihat hilal sangat sulit. Sebab, hanya sekitar 1,25 persen dari permukaan bulan saja yang terkena sinar matahari (dilihat).

Selain itu, tipisnya permukaan bulan yang terlihat akan dipengaruhi cuaca saat itu. Jika cuaca cerah, hilal dimungkinkan terlihat. Meskipun terkadang cahaya hilal juga terlihat samar, karena berkas cahaya matahari. Jika berawan atau hujan, tentu hilal tidak bisa disaksikan sama sekali.

Sulitnya menyaksikan hilal juga dikarenakan faktor kemunculannya yang sebentar. Yakni hanya 15 menit-1 jam, sebelum akhirnya tenggelam bersama matahari.

Jika dilihat dari bumi di ufuk barat, posisi matahari, hilal, dan cakrawala akan membentuk sudut segitiga. Horison (garis pertemuan langit dan bumi) sebagai garis di bawah, hilal sebagai titik di sudut atas, dan matahari sebagai titik sudut bawah. Jarak antara bulan dan horison disebut sebagai sudut azimut. Sedangkan garis antara bulan ke matahari ini disebut sudut elongasi.

Untuk terlihat, hilal paling tidak harus berada di sudut azimut lebih 2 derajat dari matahari. Kasarnya, bulan harus ada di atas matahari. Jika kurang dari itu maka (dari bumi) bulan akan terlihat sejajar dengan matahari, dan itu akan membuat hilal ikut tenggelam saat langit mulai sedikit gelap.

Posisi ini dinamakan ijtimak. Posisi yang jika dilihat dari luar angkasa, bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus. Karena berada dalam garis lurus, bulan tidak bisa terlihat dari bumi karena terlalu dekat dengan matahari. Untuk mencapai sudut azimut 2 derajat, paling tidak diperlukan waktu 8 jam bulan beredar selepas ijtimak terjadi.

Selain sudut azimut, sudut elongasi juga punya batas minimal agar bisa dilihat. Sudut yang menggambarkan jarak antara matahari dan bulan dari bumi. Kasarnya, jika sudut azimut adalah posisi bulan di atas matahari, maka sudut elongasi adalah posisi bulan di arah kiri atau kanan matahari.

Artinya, semakin lebar sudutnya, maka hilal akan semakin mudah dilihat. Sebaliknya, semakin kecil sudutnya, maka akan semakin sulit juga hilal bisa dilihat.

Jarak ideal mata telanjang bisa melihat hilal adalah 7 derajat. Kurang dari itu maka diperlukan alat bantu teleskop. Batas penggunaan alat hanya pada sudut 3 derajat. Kurang dari itu hilal tidak terlihat karena terlalu dekat dengan matahari.

Baca Juga: Jelang Ramadan, Makam Abah Guru Sekumpul Ramai Peziarah

Editor: Muhammad Bulkini



Komentar
Banner
Banner