bakabar.com, MARABAHAN – Penggunaan internet dan media sosial tanpa kontrol, ternyata ikut memicu peningkatan kasus kekerasan seksual di Barito Kuala (Batola).
Tercatat hingga akhir agustus 2022, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Batola menerima total laporan 41 kasus.
41 kasus tersebut terdiri dari pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan maupun anak, perebutan hak asuh anak dan istri gugat cerai.
“29 di antaranya sudah selesai ditangani, sedangkan kasus berlanjut berjumlah 12,” papar Kepala UPTD PPA Batola, Subiyarnowo, Senin (12/9).
“Adapun dari total 41 kasus sepanjang 2022, 13 di antaranya berhubungan dengan kekerasan seksual atau meningkat lebih dari 100 persen,” imbuhnya.
Dari sejumlah kasus yang ditangani, salah satu pemicu kekerasan seksual adalah penggunaan internet dan media sosial tanpa kontrol, terutama untuk anak-anak.
“Memang terdapat beberapa kasus yang dimulai dari perkenalan di media sosial, lalu berakhir dengan kekerasaan seksual,” jelas Subiyarnowo.
“Sedangkan pelaku berlatar belakang pacar, keluarga, tetangga, teman media sosial Facebook yang baru bertemu, hingga bahkan laki-laki beristeri,” sambungnya.
Imbas buruk media sosial itu terakhir kali dialami seorang gadis berusia 14 tahun. Warga salah satu desa di Kecamatan Cerbon ini disetubuhi pelaku yang dikenal melalui aplikasi cari jodoh.
Baca juga:Angka Kekerasan Anak di Kalsel Meningkat, Batola Tertinggi
Baca juga:Terungkap Fakta Lain di Balik Pencabulan Gadis 14 Tahun di Jejangkit Batola
“Kami terus mengimbau agar orang tua dan keluarga untuk meningkatkan perhatian kepada anak-anak dalam pergaulan, termasuk penggunaan ponsel untuk mengakses media sosial,” tegas Subiyarnowo.
“Penggunaan media sosial yang keliru bisa menimbulkan masalah. Mulai dari kekerasan seksual, pemakaian narkotika, hingga potensi pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” tambahnya.
Terkait anak-anak korban kekerasan seksual, UPTD PPA sudah melakukan pendampingan, sejak kasus terkait ditangani Polres Batola.
“Dalam upaya rehabilitasi korban, kami juga bekerja sama dengan instalasi psikologi RSUD Dr H Moch Ansari Saleh dan RSJ Sambang Lihum. Juga melibatkan psikiater kedua rumah sakit ini,” beber Subiyarnowo.
“Selain rehabilitasi dari pihak luar, kami juga mendorong keluarga dan masyarakat sekitar untuk membantu tumbuh kembang korban,” sambungnya.
Keterbukaan Melapor
Terlepas dari kasus yang berkembang, kesadaran dan keterbukaan akses melapor juga meningkatkan pengaduan di UPTD PPA Batola.
Sejak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Batola membentuk UPTD PPA, pelaporan cenderung meningkat.
“Sebagai data pembanding, hanya terdapat 8 kasus yang dilaporkan sepanjang 2018. Kemudian 11 kasus sepanjang 2019, lalu meningkat menjadi 25 kasus hingga akhir 2020,” papar Subiyarnowo.
“Kemudian hingga akhir 2021, kami mendapatkan pelaporan 24 kasus. Sekarang hingga akhir Agustus 2022, diterima 41 aduan dan telah diselesaikan 29 kasus,” tambahnya.
Adapun pengaduan bisa dilakukan dari berbagai tempat selama 24 jam, baik melalui satuan tugas di kecamatan, kepala desa, bidan, website pengaduan di UPTD PPA Kalsel maupun Kementerian PPPA.
“Setiap aduan yang masuk ke website, akan diseleksi dan diarahkan kepada UPTD masing-masing daerah. Selanjutnya korban ditinjau langsung oleh petugas dengan tetap menjaga privasi,” jelas Subiyarnowo.
“Kami menyarankan masyarakat yang memerlukan layanan pendampingan terkait kekerasan, pelecehan, penelantaran, KDRT, maupun anak berhadapan hukum, agar berani melapor,” tandasnya.