Nasional

Masyarakat Mudah Percaya Hal Mistis, Ini Alasannya

apahabar.com, JAKARTA – Hal-hal berbau magis dan mistis, termasuk kegiatan yang berhubungan dengan kultus, nyatanya masih…

Featured-Image
Pola pikir masyarakat dinilai sebagai salah satu sebab hal-hal magis macam sihir hingga babi ngepet masih dipercaya hingga bikin heboh. Foto-Ilustrasi/iStockphoto/VeraPetruk

bakabar.com, JAKARTA – Hal-hal berbau magis dan mistis, termasuk kegiatan yang berhubungan dengan kultus, nyatanya masih dipercaya oleh masyarakat di era modern. Pola pikir masyarakat dinilai sebagai salah satu sebab hal-hal magis ini masih menimbulkan kehebohan.

Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika cerita babi ngepet di Depok membuat geger, meskipun diketahui bahwasanya hal tersebut merupakan rekayasa. Selain itu, hal-hal mistis tersebut hingga kini juga masih kerap diadaptasi menjadi kisah sinetron di layar kaca.

Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra mengatakan, bahwa masyarakat masih menilai beragam hal magis seperti sihir, santet, hingga babi ngepet adalah cara cepat menyelesaikan masalah.

“Yang jelas itu ada buktinya. Intinya pola pikir seperti itu menyelesaikan masalah. Misalnya saya pengin kaya, kemudian saya datang ke dukun dan saya jadi kaya. Itu kan bukti kalau pola pikir dukun itu benar,” kata Heddy, kutip bakabar.com dari CNNIndonesia.

“Kasus-kasus itu dianggap sebagai bukti dari kebenaran pola pikir tadi. Selain bukti-bukti itu tadi, kemudian disosialisasikan anggota-anggota beserta bukti-bukti pendukungnya, itu akan tetap dipercaya,” lanjutnya.

Heddy mengatakan pola pikir manusia terbagi menjadi empat untuk menghadapi masalah, yakni akal sehat (common sense), magi (upacara atau praktik mempersuasi makhluk gaib), sains (scientific), dan agama (religion). Setiap manusia pun memiliki pola pikir dominan yang berbeda-beda.

Menurutnya, hal-hal magis juga masih ada hingga kini karena keyakinan masyarakat bahwa langkah tersebut memberikan ‘jawaban’ lebih cepat daripada cara atau pola pikir lainnya.

“Itu cara cepat. Karena logikanya gini, kalau kita pakai agama, kita tidak punya power untuk menyuruh Tuhan. Kalau pake scientific harus kerja keras dan lama. Tapi kalau pakai itu (santet/ilmu-ilmu magis) cepat. Saya bisa punya kuasa untuk sesuatu yang lain dan itu bisa saya manfaatkan,” ujar Heddy.

Hal serupa disampaikan Akademisi Antropologi Universitas Indonesia Imam Ardhianto. Menurutnya, masyarakat hingga kini masih percaya dengan magi seperti babi ngepet dan santet karena dianggap berfungsi.

Tak hanya itu, magi juga dinilai menjadi kritik terhadap lembaga modern yang gagal memenuhi janji baik dalam mobilitas sosial, kesehatan, atau pencapaian psikologis.

“Dia (magi) berfungsi secara sosial untuk menjelaskan kenapa satu individu bisa-bisa tiba-tiba kaya, atau melihat fenomena-fenomena yang dianggap tidak lazim ‘uncanny’,” kata Imam dalam korespondensi bersama CNNIndonesia.com.

“Lembaga kepolisian tidak selalu memecahkan persoalan pidana, rumah sakit tidak menjangkau semua masyarakat karena teknologinya ataupun biayanya, dan terakhir lembaga psikiatri tidak menjawab pula tekanan-tekanan sosial dan persoalan-persoalan warga.” katanya.

Akademisi FIB Universitas Jember, Heru SP Saputra, dalam tulisan yang bertajuk Tradisi Mantra Kelompok Etnik Using di Banyuwangi dan diterbitkan dalam jurnal Humaniora Volume XIII No 3/2001, menulis bahwasanya magi seperti mantra merupakan alternatif pranata sosial tradisional ketika pranata formal tidak lagi mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.

“Tujuan jahat dari pemanfaatan mantra sebenarnya lebih merupakan kompensasi dari ketidakberdayaan orang memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pranata formal,” tulis Heru.

“Ketika pranata formal tidak mampu menampung konflik-konflik dalam masyarakat, kompensasinya muncul pranata-pranata sosial tradisional yang mampu menyelesaikan konflik-konflik tersebut,” tulisnya.

Kekuatan praktik mistis tersebut dilandasi beberapa aspek, mulai dari kepercayaan subjek (dukun) terhadap efektivitas teknik yang digunakan, kepercayaan objek (korban) terhadap kekuatan mistik, dan kepercayaan dan harapan komunitas yang berfungsi sebagai bidang gravitasi.

Hal tersebut yang membuat suatu kelompok secara naluriah mewariskan mekanisme menghadapi dan memecahkan masalah sosial budaya dari generasi ke generasi hingga saat ini.



Komentar
Banner
Banner