Liputan Khusus

LIPSUS: Lembaga Survei Moncong Propaganda Politik

PELATIH Kepala Tim Nasional (Timnas) Pemenangan Anies-Muhaimin, Ahmad Ali jengkel lantaran Anies Baswedan selalu mandek di posisi buncit survei tiga besar calon

Featured-Image
Headline - Lembaga Survei Moncong Propaganda Politik. Ilustrasi: apahabar.com

PELATIH Kepala Tim Nasional (Timnas) Pemenangan Anies-Muhaimin, Ahmad Ali jengkel lantaran Anies Baswedan selalu mandek di posisi buncit survei tiga besar calon presiden 2024.

Berbanding terbalik dengan nyata yang disaksikannya saat Anies digandrungi di sejumlah daerah.

Massa pendukung Anies membludak. Klaim Ahmad Ali ini juga dikemukakan bertalian dengan gaung respon masyarakat yang rela tanpa dibayar meramaikan acara yang dihadiri Anies Baswedan.

Wakil Ketua Umum DPP Partai NasDem ini juga mempersoalkan realita dan akrobat angka yang bertengger dalam sejumlah rilis lembaga survei. Paradoks baginya.

“Padahal yang datang ke (acara) Pak Anies itu manusia betul, lha yang mereka survei itu manusia atau jin kali ya,” kata Ali kepada bakabar.com.

Baca Juga: Survei Ganjar-Mahfud Merosot, Prabowo-Gibran Naik: Anies Jeblos

Namun Ali tak mau mengambil pusing dengan akrobat angka yang selalu menjejali ruang publik. Ia menyindir para punggawa lembaga survei yang dicap hanya mementingkan perutnya sendiri dibandingkan keabsahan hasil survei.

“Biarkan mereka (lembaga survei) menjalankan itu (survei), siapa tahu itu cara mereka mencari makan,” ujarnya.

Meskipun ia tak mengantongi bukti, tetapi masyarakat mudah dalam menilai jejalan hasil survei capres yang disajikan secara berulang dan sistemik.

Ali meyakini Anies tak serupa dengan wajah rilis lembaga survei yang kerap diglorifikasi penuh sesak di ruang publik. Anies tak diuntungkan tetapi ia berharap pada hari pencoblosan akan menjadi bukti mengemuka akrobat angka yang jauh panggang dari api.

Juru Bicara Timnas Anies-Muhaimin (Amin), Pipin Sopian juga mengaku heran dengan hasil survei yang selalu tak ramah dengan Anies. Modus serupa juga ia bandingkan dengan gelaran Pilkada DKI Jakarta yang sempat diikuti Anies. Eks Mendikbud juga berada di posisi buncit dan terbukti melesat memenangkan gelanggang pertarungan politik.

Baca Juga: Survei ISC: Pemilih Loyal Jokowi Dukung Prabowo-Gibran

Pipin justru menduga lembaga survei menyimpan misteri yang berada di ruang gelap tanpa kejelasan. Ia menemukan modus lembaga survei yang ternyata melakukan cipta kondisi sebelum dilakukan survei agar hasilnya seiring sejalan dengan permintaan pemesan.

Bahkan lembaga survei memberikan layanan bagi para responden agar mudah memberikan petunjuk. Terutama lembaga survei yang berkamuflase di balik ilmu pengetahuan yang juga berkompromi dengan pemesan sebagai konsultan.

“Fungsi survei ini untuk mempropaganda, targetnya untuk membangun efek kepada para pemilih,” kata Pipin.

Namun ia juga mengaku bahwa tingkat kehadiran masyarakat dalam aktivitas politik Anies Baswedan tak terbanding lurus dengan angka-angka yang disajikan dalam rilis lembaga survei.

Untuk itu kredibilitas dan akuntabilitas lembaga survei menjadi isu yang paling krusial di tengah gaung demokratisasi.

Kendati diselubungi dengan keragu-raguan terhadap lembaga survei, instrumen jajak pendapat tetap menjadi arus utama dalam memetakan strategi internal menentukan pemimpin. Setidaknya menjadi alat dalam membangun dan mengarahkan propaganda publik.

Bahkan Pipin mengaku hanya menaruh rasa kepercayaan pada hasil survei yang dibayar oleh dirinya sendiri, dibandingkan dengan survei yang muncul hilir mudik di ruang publik. Tanpa tahu siapa pemesan dan untuk kepentingan siapa.

Baca Juga: Posisi Buntut di Survei, Timnas AMIN Tetap PD

“Survei terbaik adalah yang dibayar sendiri; yang kita minta untuk tidak direkayasa hasil surveinya. Itu yang harus kita percayai,” ujarnya.

Merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 9 Tahun 2022, lembaga survei mestinya menjadi salah satu bagian yang menumbuhkan iklim demokrasi yang mapan. Terutama dalam meningkatkan pemahaman dan menumbuhkan kesadaran masyarakat.

Maka diperkuat dengan PKPU nomor 1305 yang juga menggantungkan harap yang serupa dengan arus demokrasi yang kian bertumbuh akibat partisipasi masyarakat.

Namun realitasnya justru berbanding terbalik. Lembaga survei yang digantungkan harapan untuk menumbuhkan embrio demokrasi, ternyata mengoyak tatanan demokrasi.

Benturan kepentingan yang memicu lembaga survei menabrak kaidah dan ketentuan yang menjadi garis pembatas. Maka isu kredibilitas dan akuntabilitas lembaga survei krusial di tengah gaung demokrasi.

“Lembaga survei ini menjadi ruang gelap dalam Pemilu karena kontroversi,” kata Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati kepada bakabar.com.

Sajian akrobatik angka-angka elektabilitas kandidat capres-cawapres menjadi masalah akut yang menyelubungi proses demokratisasi.

DEEP melabeli figur yang menggeluti survei bukan sebagai pekerja pemilu, melainkan pekerja ilmiah yang terbebas dari selubung kepentingan politik praktis. “Seharusnya dapat bekerja secara independen,” ujarnya.

Baca Juga: Elektabilitas Disebut Turun, Ganjar: Survei Internal Kami Masih Baik

Label pekerja ilmiah yang semestinya melekat pada personalia lembaga survei, kata Neni, akan berkaitan dengan nafas analisa ilmiah yang didasarkan pada metode yang terukur.

Namun lembaga survei juga masih mengesampingkan tugas utamanya dalam menumbuhkan demokrasi dengan memasang sikap abai, ogah melampirkan laporannya dalam dua Pemilu terakhir.

Semisal lembaga survei tak menunjukkan akuntabilitas dan transparansi sebagai pekerja ilmiah melaporkan sumber dana yang membiayai aktivitas surveinya. Lambat laun pekerja ilmiah akan meluruhkan dirinya hanya demi sekadar pekerja pemilu semata.

Misteri yang menggantung tentang sumber dana lembaga survei dipertahankan tanpa penjelasan yang komprehensif. Meskipun sumber dana begitu krusial dalam menentukan garis dan arah hasil survei.

“Tidak jarang lembaga survei ini tidak mau menyampaikan dari mana asal pendanaan, termasuk hasil risetnya. Hasil risetnya juga banyak yang berbeda dengan yang dipublikasikan,” kata dia.

“Jangan-jangan memang betul bekerja hanya untuk kemenangan kandidat tertentu, dan ini tentu menjadi permasalahan,” ujarnya menjelaskan.

Maka pergeseran ruh yang melekat pada individu lembaga survei berpeluang menjadi bahan bakar politik. Hal ini terjadi pada beberapa Pemilu terakhir. Lembaga survei berlomba menyajikan akrobat angka-angka demi melegitimasi kemenangan salah satu pasangan capres-cawapres. Namun hasil survei beradu dan mengalami pertarungan di ruang publik.

Baca Juga: Survei Polmatrix: Prabowo-Gibran Berpotensi Unggul Satu Putaran

Instrumen ilmiah sekadar menjadi bahan bakar kepentingan politik dari para pemesannya. Untuk itu, ingatan publik masih merasakan situasi politik memanas yang mengorbankan independensi dan gaung lembaga survei yang semula diharapkan menumbuhkan demokrasi. Hancur seketika.

“Ada yang sama hasilnya dengan KPU, tapi kan yang berbeda banyak juga. Ini akan berpotensi terulang lagi di tengah kondisi politik yang memanas dan keterbukaan lembaga survei yang bermasalah,” jelasnya.

bakabar.com kemudian melakukan penelusuran terhadap sejumlah lembaga survei yang menjadi agen ganda dalam proses demokrasi. Agen pemilu sekaligus agen ilmiah.

Terdapat informasi bahwa para lembaga survei kerap menawarkan sejumlah layanan ilmiah berupa survei saja atau layanan sekaligus dengan konsultasi hingga menjadi eksekutor dalam memenangkan kandidat peserta Pemilu.

Variasi harganya beragam. Dalam penelusuran bakabar.com di sejumlah lembaga survei, semisal untuk kategori survei. Lembaga-lembaga mematok kisaran Rp300 hingga Rp700 juta hanya untuk sekali direkam dalam jajak pendapat. Nominalnya bergantung pada luas daerah pemilihan dan faktor pendukung lainnya.

Bahkan jika daerah pemilihan atau faktor pendukung lainnya rumit, maka akan berkaitan dengan beban biaya politik yang semakin tinggi.

Sementara terdapat layanan juga yang membuat para peserta Pemilu dapat duduk manis. Layanan yang ditawarkan paket lengkap yakni survei, konsultasi hingga pembentukan tim pemenangan. Namun angkanya terbilang fantastis dari kisaran Rp3 hingga 9 miliar.

Bahkan lembaga survei dapat mengubah dirinya menjadi tim pemenangan yang juga mengurusi alat peraga kampanye (APK). Seperti halnya mencetak stiker dan menyiapkan souvenir yang hendak dibagikan ke masyarakat.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Prabowo Bakal Kalahkan Anies dan Ganjar di Jabar

Sembari lembaga survei  juga menyisipkan produk ilmiah berupa hitung cepat hingga proses kajian ilmiah dalam menerapkan instrumen keilmuan dalam praktik politik. Tentu demi menjadi agen ganda berupa pekerja pemilu dan ilmiah yang rentan beradu kepentingan, terutama dalam manipulasi hasil survei yang disajikan ke ruang publik.

Menurut peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, lembaga beserta asosiasinya selalu melibatkan sejumlah pakar dalam setiap kajian ilmiah sehingga terhindar dari pengaturan dan manipulasi hasil survei.

Jika terdapat hasil yang janggal, kata Ahmad, akan dipersoalkan di tingkat asosiasi yang berpeluang merusak reputasi dan kredibilitas. Ancaman didepak dari asosiasi pun diklaim nyata terjadi.

Ahmad menerangkan bahwa bisnis survei tergolong bisnis berbasis kepercayaan, tatkala terkoyak rasa percaya maka akan menghancurkan reputasi lembaga di muka publik.

“Dan biasanya yang memesan jasa lembaga survei itu tidak banyak sebetulnya. Sekali saja sebuah lembaga survei memanipulasi data, maka seluruh pasar lembaga survei itu akan tahu. Jadi ini tidak bisa main-main,” jelas Ahmad kepada bakabar.com.

Di sisi lain, ia juga mengaku mudah mengidentifikasi lembaga survei kredibel atau tidak dengan melakukan penelusuran rekam jejaknya. “Lembaga yang lama dan panjang bertahannya, itu biasanya adalah lembaga survei yang terpercaya,” ujarnya.

Baca Juga: Survei Indikator Politik: Ganjar Unggul di Jawa Timur

Ia membeberkan bahwa tidak ada pihak yang merogoh koceknya demi melakukan manipulasi hasil survei. Sebab selain biaya survei yang cenderung mahal, ancaman reputasi membayang-bayangi lembaga survei.

“Kalau ketahuan memanipulasi, orang tidak akan percaya. Dan biasanya tidak akan panjang umurnya karena tidak ada yang mau bekerja sama lagi,” kata dia.

Sementara, Founder KedaiKopi, Hendri Satrio blak-blakan mengaku bahwa terdapat klien yang membayar survei. Tetapi biaya hanya sekadar jasa semata untuk pekerjaan ilmiah.

Sebab KedaiKopi tak pernah melakukan perubahan metodologi, apalagi muncul dengan hasil yang dimanipulasi.

“Jadi hasilnya ya apa adanya dan kita menggunakan beberapa teknologi,” kata pria yang akrab disapa Hensat.

Ia mengungkapkan bahwa kredibilitas dan akuntabilitas mesti dilekatkan pada lembaga survei. Sebab lembaga ini mampu mengerek narasi masyarakat dalam menjatuhkan pilihannya di momentum politik.

Maka rekam jejak lembaga survei menjadi instrumen penting dalam memetakan keyakinan masyarakat mencari rujukan informasi yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebab terdapat peluang lembaga survei sebagai alat bombardir narasi di ruang publik.

“Tapi saya setuju ada pertanyaan ini karena memang ada lembaga survei yang norak-norak,” kata Hensat.

MESIN PROPAGANDA

Quick Count Dimulai, Simak Hasil Dua Lembaga Survei yang Berbeda
Quick Count Dimulai, Simak Hasil Dua Lembaga Survei yang Berbeda

Politikus PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira melabeli lembaga survei sebagai mesin propaganda. Sengaja dibuat, dibayar, dan disebarkan demi propaganda.

Bahkan kekinian masyarakat diklaim krisis kepercayaan terhadap lembaga survei lantaran terlalu sering memamerkan akrobatik angka yang tersengat bau amis propaganda.

“Saya kira masyarakat sudah makin kritis lihat fakta di lapangan. Kita gak tau persis lembaga survei mana yang harus kita percaya,” kata Andreas kepada bakabar.com.

“Mereka bergerak seperti mesin propaganda elektabilitas,” sambungnya.

Maka ia juga mempersoalkan moralitas para punggawa lembaga survei yang terlalu mementingkan kepentingan dirinya dan mengorbankan ilmu pengetahuan. Terlebih menjadi arus utama dalam hilir mudik propaganda politik di ruang publik.

Sebab lembaga survei dinilai memiliki pertanggung jawaban publik lantaran menjadi rujukan masyarakat dalam menjatuhkan pilihan pemimpin untuk masa yang akan datang.

“Itu juga kalau mereka (lembaga survei) masih punya moral,” kata dia.

Baca Juga: Survei: Mayoritas Publik Tolak Konsep Presiden Petugas Partai

Ia juga menyadari bahwa lembaga survei telah menjadi agen ganda. Agen pemilu dan ilmiah. Maka lembaga survei dicap sebagai institusi yang diragukan di muka publik.

Bukan tanpa alasan, kata dia, lembaga survei dijadikan mesin propaganda politik yang kerap dibumbui hasil survei yang dimanipulasi. Apalagi lembaga survei juga sering melekatkan fungsi sebagai konsultan politik kandidat.

“Yak arena lembaga survei bergerak sebagai konsultan, pasti dia bela-bela,” kata dia menambahkan.

PDIP, kata dia, tetap menggunakan survei untuk konsumsi internal. Terutama berkaitan dengan perencanaan strategi kampanye. Bukan untuk menggiring dan melakukan propaganda politik.

Untuk itu ia berharap lembaga survei kembali mengarusutamakan kaidah keilmuan. Tak sekadar demi memenuhi selera klien dan menanggalkan kepentingan publik.

“Semua in ikan bisnis sekarang, dan bisnis pasti cari untung. Mereka (harus) memenuhi selera klien,” ungkap dia.

Sementara, Ketua Asosiasi Opini Publik Indonesia (Asopi), Umar S Bakry mengaku seringkali lembaga survei tak menyertakan donator yang membiayai penelitian. Bahkan tercantum dalam prasyarat etik yang dilekatkan ke lembaga survei.

Baca Juga: Survei Dinilai Rendah, Anies-Cak Imin: Lho, Gak Bahaya Ta?

“Setiap lembaga survei yang melakukan rilis hasil survei wajib menyebutkan siapa yang mendanai kegiatan survei tersebut,” kata Umar kepada bakabar.com.

Namun lembaga survei seringkali berkilah dengan sejumlah alasan demi menutupi sumber dana yang membiayai mereka.

“Tapi untuk lembaga survei yang mainstream, biasanya dalam sebuah kegiatan pemilu itu dia kliennya banyak dari berbagai partai dan caleg, lintas partai, jadi nggak bisa disebutkan siapa saja gitu,” kata Umar.

“Jadi ya biasanya dari partai politik atau kontestan pemilu, karena banyak jadi gak disebut satu per satu,” sambungnya.

Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga menyoroti problematika lembaga survei yang telah diatur dalam ketentuan hukum pemilu. Ketua Divisi Sosialisasi KPU RI, August Mellaz mengaku bahwa KPU telah membuka ruang partisipasi masyarakat melalui survei.

KPU mematok syarat yang mesti dipenuhi lembaga survei. Sebagaimana diatur dalam PKPU nomor 9/2022 yang diwajibkan terdaftar dan diverifikasi langsung oleh KPU.

“Lembaga survei harus memenuhi persyaratan dalam Psal 16 ayat (2) PKPU, yaitu harus berbadan hukum Indonesia, bersifat independen, sumber dananya jelas dan terdaftar di KPU, baik pusat maupun KPU daerah. Untuk teknisnya juga diatur di PKPU,” kata Mellaz kepada bakabar.com.

Namun tatkala lembaga survei melanggar norma maupun sejumlah aturan, maka KPU mempersilakan masyarakat melaporkannya ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Nanti KPU akan menyerahkan rekomendasi tersebut kepada asosiasi lembaga survei untuk mendapatkan penilaian terhadap dugaan pelanggaraaan,” kata dia menjelaskan.

“Sanksi bagi lembaga survei yang melanggar PKPU bisa dalam bentuk peringatan atau mencabut sertifikasi pendaftarannya di KPU,” pungkasnya.

Reporter: Citra Dara Trisna, Nandito Putra, Fikma Khairunnisa

Redaktur: Safarian Shah Zulkarnaen

Editor
Komentar
Banner
Banner