bakabar.com, BANJARMASIN – Ada yang menarik saat perayaan hari lahir Pancasila tahun ini. Dalam balutan jas hitam, Presiden Joko Widodo tampil gagah memimpin upacara di halaman Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Selasa pagi (1/6).
Terlebih, jas yang digunakan sang presiden bukanlah jas biasa yang dipakai saat upacara kenegaraan melainkan baju adat. Lantas, baju adat apa yang dikenakan Jokowi tersebut?
Presiden Jokowi rupanya mengenakan baju adat dari Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Catatan bakabar.com, sudah tiga kali Jokowi mengenakan baju kebesaran masyarakat Bugis Pagatan itu.
Jas hitam yang dilengkapi ornamen emas serta kain tenun hijau sebagai penutup kepala itu pernah dipakai Jokowi saat mengunjungi Tanah Bumbu, 7 Mei 2017.
17 Agustus berselang, Presiden Jokowi kembali mengenakannya saat HUT Kemerdekaan ke-72.
Tak sekadar penutup aurat, baju itu rupanya memiliki nilai filosofis tersendiri. Sebagai simbol tingginya budi pekerti dan kuatnya adat istiadat sebagai perekat pemersatu bangsa.
Laung atau penutup kepalanya mewakili simbol perkasa dan wibawa. Dalaman baju yang disebut teluk balana simbol baju nusantara yang agamis. Sementara, baju bagian luar dinamakan cekak musang tanpa kancing memiliki arti pentingnya menghargai perbedaan.
Sarung atau tapih mewakili simbol manusia yang terampil dan pekerja keras. Celana panjang memiliki arti kesetiaan. Ikat pinggang atau pendeng mewakili simbol kesederhanaan. Terakhir, kembang emas di dada kiri merupakan simbol pemimpin yang bijaksana.
Pagatan merupakan salah satu kelurahan di Tanah Bumbu. Mayoritas masyarakatnya bermukim di pesisir pantai hingga pegunungan. Lebih dari 60 hingga 70 persen warganya suku Bugis. Daerah ini dikenal sebagai salah satu penghasil sarung tenun.
Berdasarkan sejarahnya, sarung tenun Pagatan hadir bersamaan dengan datangnya perantau suku Bugis pada pertengahan abad ke-18.
Masa lampau, sarung tenun Pagatan hanya boleh digunakan oleh bangsawan Bugis di Pagatan. Ada beberapa motif dalam Sarung Tenun Pagatan, yaitu bebbe, sobbe are, sobbe sumelang, dan panji atau passulu.
Dan kini, demi menjaga keasliannya ciri dan motif, pembuatan sarung tenun Pagatan hanya dibuat oleh masyarakat Bugis Pagatan.
Sejarawan Kalsel, Mansyur mengatakan orang banjar dari golongan bangsawan sudah lama terbiasa mengenal jenis pakaian khusus untuk upacara sosial.
Seperti dalam sumber lukisan tahun 1850 yang memperlihatkan visualisasi pakaian seperti dipakai Jokowi. Bahkan, dalam lukisan Hidayatullah, Pangeran Banjar yang ditipu Belanda dan diasingkan ke Cianjur tahun 1862 juga memakai pakaian jenis ini.
“Pakaian tersebut biasanya dipakai para tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan pada masa lampau untuk menghadiri suatu upacara sosial seperti pahadring (musyawarah) dan lainnya, untuk menunjukkan suatu gaya tersendiri,” ujar Dosen Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini.
Mereka yang terlibat dalam upacara mengenakan baju jas buka, celana panjang, laung tajak siak, sabuk, dan alas kaki. Tradisi memakai pakaian seperti ini sebenarnya sudah lama ditinggalkan.
“Namun oleh beberapa kalangan, pakaian ini telah diangkat kembali,” tuturnya.
Baju jas buka, kalau dilihat dari bentuknya maka mirip dengan baju jas tutup. Namun, kata Mansyur, terdapat juga perbedaan antara keduanya.
Terutama dalam hal memakainya. Leher baju bundar dengan kerah kecil tegak. Kantong baju hanya dua buah dan terletak di bagian bawah.“Bagian depan baju tidak memakai kancing,” jelasnya.
Selanjutnya, kancing hanya terdapat di ujung tangan sebelah kiri dan sebelah kanan. Masing-masing tiga buah. Waktu dipakai, dibiarkan terbuka bagian depannya.
“Karena itu dinamakan baju jas buka. Sebagai baju dalam dikenakan kemeja putih tangan panjang, yang panjangnya sama dengan panjang tangan baju jas,” ujarnya.
Bahan yang dibuat pada masa dahulu adalah kain strimin, kain lena, dan kain winko. Dalam perkembangannya sekarang digunakan kain Famatex, Friend Ship dan jenis kain lainnya yang agak tebal.
Warna yang disukai umumnya adalah putih, krem, kuning muda, dan coklat muda. Menariknya, kata Mansyur, jenis pakaian ini tidak ada pengrajin yang khusus membuat dan memasarkannya.
“Hanya dibuat kalau ada yang memesannya,” ujarnya.
Mansyur bercerita, masa lampau, pasangan baju jas buka adalah celana panjang yang bertali pada pinggangnya. Tetapi sekarang tidak. Celana yang memakai tali pinggang itu tidak digunakan lagi.
Sekarang orang lebih suka memakai celana pantolan biasa tanpa saku. Bahan dan warna celana disamakan dengan bahan dan warna jas.
Sabuk (tapih atau kain) dikenakan setelah kemeja dalam dan celana dipakai. Uluran sabuk sedikit di atas lutut.
Bagian tumpal sabuknya harus berada di bagian belakang. Lipatan bagian kiri di depannya menindih bagian kanan dan dalam posisi lebih rendah dari bagian kanan.
Dan, dari kain panjang yang dipakai Jokowi, Mansyur memastikan itu adalah kain tenun khas Pagatan.
“Dalam sejarahnya, memang sejak 1800-an tapih ini dibuat oleh para pengrajin suku bangsa Bugis Pagatan dengan cara ditenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM),” imbuhnya.
Karena itu sabuk ini dikenal juga dengan sebutan kain tenun Pagatan. Warna untuk sabuk dipilih yang agak mencolok; kontras dengan warna baju dan celana yang dipakai. Misalnya, warna merah, biru, ungu, atau hijau yang seperti yang digunakan Jokowi pagi tadi.
Sementara, laung tajak siak yang dikenakan Jokowi sebagai tutup kepala sejak dulu dalam dinamika sejarah memperlihatkan bahwa bahannya berupa kain tenunan Pagatan.
Waktu dipakai, warna laung dipilih yang sama dengan warna sabuk, sehingga terjalin keserasian warna. Pada masa lalu untuk melengkapi busana ini sebagai alas kaki dipakai selop. Dalam perkembangannya dipakai pula sandal tali silang dan sepatu kansus (pansus).
“Sehingga, sekarang ketiga alas kaki itu dapat dipilih untuk dipakai di waktu berbusana jas buka,” jelasnya.
Adapun pakaian jas tutup, dituturkannya dipakai bersama-sama dengan tutup kepala yang berupa laung tajak siak, yang terbuat dari kain segi tiga. Tinggi segi tiga itu disesuaikan dengan tinggi laung yang diinginkan, setelah nantinya diikatkan di kepala.
Yang perlu diketahui laung Banjar (tajak siak) tidak setinggi laung Melayu. Dan bentuknya memang berbeda dengan laung Melayu yang tinggi dan lancip ke atas.
Ikatan laung tajak siak mengikuti pola yang sudah berlaku di masyarakat, yaitu berbentuk lam jalalah. Bentuk ini mengacu pada lam alif.
“La dalam bahasa Arab berarti tidak,” katanya.
Bagian depan laung tajak siak ini terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar ditarik ke depan dan akan menjadi sebuah lekukan, seperti sebuah kelopak.
“Sedangkan bagian depan waktu dipakai tetap tegak,” tambah dia.
Bahan yang dibuat jadi laung ada beragam, misalnya kain tenun Pagatan, kain beludru dan jenis kain lainnya yang agak keras.
Warna laung pun harus sama dengan warna sabuk yang dipakai. Jika sabuk berwarna merah, maka warna laung juga merah.
“Kalau sabuk kuning, laung pun berwarna kuning,” tandasnya.
Yang pasti, penggunaan laung tajak siak ini mempunyai arti simbolik sebagai penolak bahaya atau maksud-maksud jahat lainnya.