bakabar.com, BANJARMASIN - Pasca diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada 11 Maret 1966, warga Banjar merespon dengan dibentuknya Front Pancasila. Untuk menegakkan kembali kemurnian Pancasila dan UUD 45.
Pengamat Sejarah, Mansyur S.Pd, M.Hum mengungkapkan dalam Sejarah Banjar terbitan Pemprov Kalsel tahun 2013 disebutkan, setelah terbitnya Supersemar, terbentuklah Front Pancasila di Banjarmasin. Wadah tersebut dimaksudkan untuk menegakkan kembali kemurnian Pancasila dan UUD 45.
"Secara nyata keinginan ini dibuktikan dengan komitmen bersama beberapa partai politik dan organisasi massa yang menandatangani piagam pembentukan Front Pancasila yang dijadikan wadah persatuan dan kesatuan rakyat pendukung Pancasila dan UUD 45," kata Mansyur.
Dosen Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin itu melanjutkan, Front Pancasila dibentuk pada 4 Mei 1966 yang didukung oleh partai dan organisasi massa seperti NU, PSII, Perkindo, Partai Katholik, IPKI, PERTI, Muhammadiyah, Soksi dan Gasbindo.
Kemudian, Front Pancasila ini bersama-sama dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menjadi pendukung Orde Baru dan mempelopori tuntutan yang lebih luas dan menyangkut penataan kembali kehidupan kenegaraan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Peristiwa G 30 S/PKI membuat kondisi masyarakat bergejolak. Tidak hanya di nasional, di Kalsel pun demikian," terang mansyur.
Baca Juga: Kondisi Banjarmasin Pasca Supersemar (1), 'Petinggi' PKI Dihukum Mati
Situasi yang terjadi dalam bidang politik tersebut, sambungnya, telah menyadarkan masyarakat untuk melakukan reaksi agar keadaan tidak bertambah buruk.
Dalam bidang pemerintahan, untuk menindaklanjuti kegiatan yang telah diprogramkan, pada tanggal 8 sampai 10 Juni 1967 diselenggarakan konferensi antar DPRD-GR se-Kalimantan Selatan dengan tujuan agar lebih memantapkan Lembaga Legislatif di daerah ini.
Kemudian, pada tanggal 1 September 1967 Lembaga Panca Tunggal sebagai Penguasa Tunggal Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah (berdasarkan Kepres No. 108/67 tanggal 26 Juli 1967). Sehingga untuk dapat lebih mencapai efisiensi oleh Gubernur Kepala Daerah diadakan perubahan struktur organisasi Kantor Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan disertai penataan kembali Kepala Biro/Bagian-Bagian.
Pada tanggal 25 Oktober 1967 Panglima Angkatan dan Muspida se-Kalimantan mengadakan Raker di Banjarmasin diprakarsai oleh koordinator Muspida Kalimantan.
"Tujuannya untuk mencapai koordinasi dan integrasi dalam menyukseskan tahap-tahap dari Dwidarma dan Catur Karya Kabinet Ampera," terang Mansyur.
Dalam bidang pers, terbitnya 'Bulletin Mahasiswa' yang kemudian menjadi 'Mimbar Mahasiswa' pada tanggal 8 Agustus 1968, menjadi alat sosial kontrol.
Penerbitan Mimbar Mahasiswa ini dipelopori oleh H.J. Djok Mentaya, H. Anang Adenansi, Yustan Azidin, Muhammad Hadariyah Rokh, Gusti Rusdi Effendi, Rustam Effendi Karel, dan Amaril HS. Surat kabar Mimbar Mahasiswa ini dicetak pada Almamater Pers dengan penerbitnya adalah Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
Saat itu, situasi daerah pasca penghianatan G 30 S/PKI belumlah benar-benar dapat dinyatakan segala penghambatnya telah selesai secara tuntas. Karena para pelaku dan pengikut PKI masih belum tertangani seluruhnya.
"Ketika Mimbar Mahasiswa menurunkan berita yang berkaitan dengan operasi pembersihan terhadap PKI dianggap oleh Laksusda Kalimantan Selatan telah membuyarkan strategi Laksus dalam operasi yang akan dilaksanakan," terangnya.
Untuk itu tokoh-tokohnya seperti HJ. Djok Mentaya, Anang Adenansi, Mas Abi Karsa, A Syarie Musaffa dan Zainuddin Rais ditahan Laksusda selama 21 hari.
"Tetapi penerbitan Mimbar Mahasiswa tetap dapat dilakukan. Ketika itu diserahkan kepada Yustan Azidin untuk menanganinya agar terus bisa terbit," pangkas Mansyur.
Baca Juga: Kondisi Banjarmasin Pasca Supersemar (2); Tidak Ada Pembantaian, Berkat NU
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Muhammad Bulkini